Cari Blog Ini

Jumat, 17 Desember 2010

ANUGERAH HIDUP

Hidup itu tidak seindah yang terlihat...
Banyak tangis yang tersembunyi di balik senyuman...
Banyak tawa di atas tangis orang lain...
Banyak air mata yang terurai...
Banyak trauma dan ketakutan dalam hidup seseorang...

Indahkah hidup ini?
Atau burukkah hidup ini?
Menyenangkankah hidup ini?
Atau menyedihkankah hidup ini?

Tiada rasa peduli terhadap orang lain...
Tapi ingin dipedulikan oleh orang lain...
Tidak ingin dibedakan ataupun dibandingkan dengan orang lain...
Tapi ingin membedakan dan membandingkan orang lain...

Kepahitan dalam hidup ini...
Membuat segalanya menjadi menyedihkan...
Merasa tidak percaya diri dan direndahkan...
Terkucilkan dan mengucilkan diri dari kelompoknya...
Tapi sadarkah?
Bahwa kita telah melupakan hal terindah yang telah kita dapatkan...

"Hal terindah yang pernah kita rasakan sampai saat ini adalah dapat tetap hidup
dan merasakan manis serta pahitnya dunia ini merupakan suatu anug
erah terindah yang telah diberikan kepada kita.."
 Pengarang/penulis: Chiin Sui

Jakal Bukanlah Macan

Macan jantan, macan betina, dan dua anaknya hidup rukun. Mereka hidup di tengah hutan berkelimpahan dengan apa saja untuk dimakan dan air segara untuk diminum. 

Macan jantan tugasnya berburu binatang dan membawanya pulang sebagai makanan mereka. Macan betina merawat anak-anak dan rumah mereka.

Pada suatu hari macan jantan pulang ke rumah membawa seekor jakal kecil yang masih hidup. “Hari ini jakal kecil ini akan menjadi makanan kita,” kata si jantan sambil menyerahkan jakal kecil kepada si betina.

Jakal kecil ini menyentuh hati si macan betina. “Dia kecil seperti anak-anak kita. Bagaimana kita dapat membunuh dan memakannya?’ kata si betina memprotes. Dia kemudian memberikan air susu kepada jakal kecil itu dan memutuskan untuk membesarkan seperti anak-anak macan. Dengan demikian, tiga anak itu tumbuh bersama-sama.

Mereka belajar berburu hewan-hewan kecil seperti kelinci. Mereka keluar dari rumah, berkeliaran di rimba untuk belajar menghadapi bahaya. Pada salah satu perburuan, mereka berjumpa dengan seekor gajah. Anak-anak macan memutuskan untuk menantang binatang raksasa itu tetapi saudara mereka, jakal tidak punya keberanian. “Lari!” teriaknya kepada anak-anak macan, “atau binatang besar itu akan membunuhmu.” Sebagaimana jakal berlari secepatnya, demikian juga anak-anak macan.

Di rumah, mereka menceritakan kejadian ini kepada ayah dan induk macan. Keduanya mencaci anak-anak macan karena perasaan takut mereka. “Ingat, kalian berdua adalah macan. Jangan pernah lari dari bahaya. Hadapi bahaya.”

Kepada jakal, induk macana berkata, “Sekarang sudah waktunya bagimu untuk pulang dan bergabung dengan kelompokmu. Jika engkau tetap tinggal di sini, anak-anakku akan menjadikan engkau mangsa mereka.” Itulah hari terakhir bagi jakal bersama macan.


Setiap pribadi itu unik. Jadilah dirimu sendiri.
Disadur dari:
Cercah-cercah hikmah, P. Cosmas Fernandes, SVD, Kanisius

Bacaan dan Renungan Hari Minggu, Adven IV

Bacaan: Matius 1:24.
Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.

Renungan:
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “hamba” merupakan suatu kata yang barangkali menjijikkan. Kata “hamba” sering kita bayangkan sebagai “budak”, sehingga kita sering memandang rendah pekerjaan seorang hamba. Kendati demikian, sebenarnya yang dimaksud dengan hamba dalam teks ini lebih dari itu. Hamba yang dimaksud di sini adalah hamba Tuhan.
Memang tidak salah bila kita berasumsi bahwa seorang hamba itu adalah seorang suruhan. Seorang hamba hanya berpasrah pada tuannya. Namun, betapa mulianya jika seorang hamba yang dimaksud adalah hamba Tuhan. Seorang hamba Tuhan tentunya berpasrah kepada Tuhan sebagai Tuannya. Oleh sebab itu menjadi pertanyaan bagi kita sekarang ialah: apakah kita mau menjadi hamba Tuhan dengan cara rela untuk memasrahkan segala nasib hidup kita padaNya? Ingat, kerelaan kita untuk selalu berpasrah pada Tuhan adalah kunci utama dalam mengabdi Tuhan sebagai orang-orang Katolik sejati. Demikianlah sikap Yusuf untuk mengikuti kata malaikat, ia dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati menyerahkan segala keputusan sesuai dengan kehendak Allah. Iman kita tidak sebanding dengan iman Yusuf. Maka Yusuf menjadi teladan kita dalam mengabdi terhadap Allah.


Hari Senin, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:38.
Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Lalu malaikat itu meninggalkan dia.

Renungan:
Maria menerima khabar dari malaikat Gabriel yang menyampaikan pesan Allah bahwa Maria akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki. Sebuah kalimat yang diungkapkan Maria kepada malaikat itu, “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan”.
Jika Maria mengungkapkan bahwa dirinya hamba Tuhan dengan kata “sesungguhnya” bukan berarti malaikat tidak tahu siapa Maria. Allah telah memilih Maria. Namun kerendahan hati Marialah yang mendorongnya untuk menunjukkan siapa sebenarnya Maria di hadapan Malaikat Tuhan. Kata-kata Maria memperjelas bahwa ia adalah wanita yang pantas menerima kepercayaan dari Tuhan sendiri.
Maria mencoba mengungkapkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan. Namun Maria sekaligus memberikan diri sebagai hamba Tuhan untuk dipakai oleh Tuhan. Ia mengatakan kepada malaikat “jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Maria merelakan dirinya untuk menjalani apa yang dipesan Tuhan lewat malaikat.
Kesediaan diri Maria yang penuh dengan tantangan inilah yang menjadikan Maria menonjol dalam sikap beriman. Dua hal yang pantas kita teladani dari Maria pada masa Adven ini adalah: pertama sikap rendah hati di hadapan Tuhan, dan yang kedua adalah beriman kepada Tuhan secara total, percaya dan rela menjalani kehendak Tuhan. Adakah kedua sikap tersebut kita miliki? Pada saat kita membuat tanda salib, apakah kita sungguh mengimani Allah Tritunggal atau hanya karena sudah terbiasa saja?


Hari Selasa, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:41-44.

Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.

Renungan:
Hanya para ibu yang dapat berbicara tentang sukacita melahirkan seorang bayi di dunia. Dalam iman, Maria dan Elisabeth merasakan kehadiran Allah melalui bayi yang sedang mereka kandung: Elisabet mengandung Yohanes dan Maria mengandung Yesus.
Dalam kehidupan kita sebagai orang beriman, kapan kita merasakan kehadiran Tuhan? Apakah hanya ketika doa kita dikabulkan oleh Tuhan, kita baru merasakan adanya kehadiran Tuhan? Tuhan itu hadir setiap saat di dalam seluruh perjalanan hidup kita masing-masing. Oleh sebab itu marilah kita bersama-sama memberikan hadiah terindah bagi Sang Bayi yang akan lahir di palungan dengan cara selalu menyadari rahmat kehadiranNya dalam setiap pengalaman keseharian kita.

Hari Rabu, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:46-49.
Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan namaNya adalah kudus.

Renungan:
Bunda Maria bersyukur karena karyaNya yang agung diserahkan kepada kita manusia. Dalam hidup kita sehari-hari, kita pun sering mengucapkan syukur kepada Tuhan. Namun yang menjadi pertanyaan ialah apa alasan kita mengucap syukur? Apakah kita mengucap syukur hanya karena berhasil dalam usaha-usaha besar? Lalu, bagaimana dengan usaha-usaha kita yang seringkali gagal: apakah kita juga mampu untuk mengucap syukur?
Patut kita sadari bersama bahwa tidak ada alasan dalam hidup ini untuk tidak mengucapkan syukur. Entah apa pun usaha kita dalam hidup (berhasil atau tidak), ungkapan syukur pada Tuhan harus selalu kita nyatakan. Kita harus ingat bahwa lalai bersyukur, dalam arti tertentu, sama artinya dengan lalai akan segala anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.


Hari Kamis, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:57-58.
Kemudian genaplah bulannya bagi Elisabet untuk bersalin dan ia pun melahirkan seorang seorang anak laki-laki. Ketika tetanga-tetangganya serta sanak saudaranya mendengar, bahwa Tuhan telah menunjukkan rahmatNya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.

Renungan:
Kisah kelahiran Yohanes Pembaptis dalam teks Injil ini merupakan suatu permenungan yang amat bagus bagi para orangtua. Para orangtua tentunya sangat bergembira bila melihat anaknya lahir dengan selamat. Kendati demikian, tidak jarang juga kita jumpai bahwa para orangtua justru tidak menghendaki anaknya lahir.
Ada banyak alasan yang digunakan para orangtua untuk membenarkan tidakannya ini (tidak menghendaki anaknya lahir). Salah satu alasan yang sering kita dengar ialah karena orang tua takut tidak mampu untuk menyejahterakan anaknya itu. Karena alasan inilah maka dalam beberapa berita di Televisi ataupun di Radio sering kita lihat dan dengar bahwa ada orangtua yang tega membuang atau bahkan menjual anaknya yang baru lahir. Perbuatan ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan, karena sang anak pada dasarnya merupakan anugerah Tuhan sendiri.
Membuang, menyingkirkan, atau bahkan menyia-nyiakan anak sama artinya dengan membuang, menyingkirkan, dan menyia-nyiakan Tuhan sendiri. Oleh sebab itu, marilah kita sebagai orangtua selalu menjaga dan merawat anak-anak kita dengan semangat penuh cinta akan anugerah kasih Tuhan.


Hari Jum’at, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:67-69.
Dan Zakaria, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umatNya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hambaNya itu”.

Renungan:
Hari Natal merupakan hari yang sungguh-sungguh kita nantikan. Sudah tiga minggu, terhitung sejak dimulainya masa Adven, kita bersiap-siap untuk menyambut hari Natal. Banyak hal yang mungkin telah kita renungkan demi menyambut lahirnya Sang Juruselamat itu. Kendati demikian, patut kita pertanyakan bersama ialah sungguhkah kita menantikan kedatangan Yesus, Sang Juruselamat, yang akan lahir di dunia dari dalam diri perawan Maria tersebut?
Sungguhkah kita sudah mempersiapkan hati dan pikiran kita untuk menyambutNya? Mari kita sadari bersama bahwa persiapan akan kedatangan Sang Juruselamat itu bukan hanya persiapan fisik (pembentukan panitia Natal, gua-gua Natal di gereja, tulisan-tulisan Natal di gereja dan rumah, dan lain sebaginya), melainkan juga persiapan rohani (permenungan diri kita sebagai orang beriman dalam menyambut kedatangan Tuhan).

Gembala Menyapa (12 Desember 2010)

Pada hari Minggu Adven III seperti biasa Gereja mengajak kita semua merenungkan peran Yohanes Pembaptis dalam karya keselamatan dan persiapan kedatangan Yesus. Yang ditampilkan dalam bacaan Injil hari minggu Adven III tahun A ini adalah Yohanes Pembaptis yang beberapa waktu sebelumnya ditangkap oleh Herodes Antipas (Mat 4:12) dan dimasukkan dalam perjara. Mengapa Yohanes ditangkap oleh Herodes Antipas, ini adalah masalah politik, bahwa seruan pertobatan Yohanes ternyata telah membuat goncangan di masyarakat dan dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan Herodes di hadapan penguasa Romawi. Namun ada alasan lain juga selain itu, yaitu bahwa Yohanes telah mengecam keras perkawinan Herodes dengan Herodias yang waktu itu bersuamikan saudara tiri Herodes sendiri (Mat 14:4). Perkawinan seperti itu memang terlarang (Im 18:6). Di dalam penjara, Yohanes masih bisa menerima kunjungan murid-muridnya. Dari murid-murid inilah Yohanes mendengar tentang Yesus yang mulai dikenal oleh masyarakat. Agaknya atas dasar cerita dari murid-muridnya ini Yohanes mulai menduga, bahwa mungkin inilah Mesias yang akan datang itu.
 Memang menurut Mat 3:11 Yohanes sudah memaklumkan kedatangan dia yang lebih berkuasa daripadanya, yang akan membaptis dengan Roh dan api sehingga orang dapat memasuki Kerajaan Sorga setelah menerima pembaptisan tobat. Tetapi khan belum jelas baginya siapa orangnya. Ketika Yesus datang kepadanya minta ikut dibaptis, lalu ada pengalaman rohani bahwa sesudah dibaptis terdengar suara dari langit bahwa Yesus itu anak terkasih dan mendapat perkenanan ilahi. Tetapi apakah dia itu yang dinanti-nantikan? Keragu-raguan ini tidak perlu ditafsirkan sebagai kekurangpercayaan, tetapi iman yang hidup tetap butuh informasi yang aktual, bukan sekedar mengamini rumus-rumus.
Dengan mengutus murid-muridnya untuk bertanya kepada Yesus sendiri tentang “pertanyaan” yang hidup dalam hatinya ini agaknya Yohanes mau mengajari para murid untuk (a) mendengar berita yang terpercaya, (b) supaya murid-murid berani mengenal Yesus dengan menemuinya sendiri. Berusaha untuk mengerti tanda-tanda yang bisa membat orang percaya adalah termasuk tindakan beriman. Percaya dan beriman itu seperti semua tindakan manusia, bisa dan butuh dipertanggungjawabkan. Iman bukan hanya perasaan mantap sehidup semati saja. Malah rasa mantap itu bakal kurang berdaya yohanes sendiri sebenarnya menhadapi masalah “teologi dasar” seperti ini. Di hati dan dalam niatan, ia percaya bahwa ada yang bakal datang mengutuhkan warta Kerajaan Sorga. Tapi siapakah dia itu dalam kenyataannya? Orang yang dikabarkan di mana-mana mengerjakan perkara-perkara ajaib itukah?
Yesus meminta agar murid-murid Yohanes melaporkan kepada guru mereka apa yang mereka lihat dan dengar, yakni orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin dibawakan berita gembira. Orang yang bisa percaya tanpa merasa tersinggung dan menyambutnya dengan merdeka boleh merasa bahagia. Mereka itu berarti menerima Kerajaan Sorga (bdk. Mat 5:3 dst). Begitulah kebahagiaan tercapat dengan mencari tahu bagaimana dan dengan cara apa kedatangannya menjadi semakin bermakna dan semakin bisa dinikmati orang zaman ini.
Setelah murid-murid Yohanes pergi, Yesus mulai berbicara mengenai Yohanes. Dikatakannya bahwa orang-orang datang kepada tokoh itu karena tidak seperti “buluh digoyang angin” (ay 7), sebuah ibarat yang mirip ungkapan Indonesia “seperti air di daun talas”. Mereka datang untuk berguru kepada orang yang wataknya kuat, kepada orang yang punya prinsip, berkepribadian. Itulah Yohanes Pembaptis.
Maka tidak salah kalau kita mau berguru kepada Yohanes Pembaptis, orang yang wataknya kuat, punya prinsip dan kepribadian itu