Adakah korupsi di lingkungan
katolik? Jawabnya sangat jelas, tidak
ada. Setidaknya, tidak pernah terdengar atau terbaca berita tentang kasus
semacam ini sampai ke pengadilan. Adakah kata lain bahwa orang katolik itu
jujur-jujur? Semoga demikian. Bahwa suatu saat ada kantong kolekte raib, itu
mungkin ’hanyalah kasus kecil yang tak perlu dibesar-besarkan’.
Dalam konteks lebih luas,
sebenarnya upaya mengelak atas dugaan korupsi sangat lihai. Belum pernah terdengar,
bahwa pelaku korupsi begitu saja mengakui perbuatannya. Bahkan setelah ada
bukti kuat pun, dan setelah divonis pengadilan sebagai bersalah dan harus
menjalani hukuman, pelaku tetap saja berdalih, merasa sebagai korban fitnah, merasa
tidak bersalah. Sementara, negara yang telah kehilangan milyaran, bahkan
trilyunan rupiah, tetap saja tidak berupaya secara serius menangani masalah
tersebut hingga tuntas dan membuat jera. Sebab, negara yang de facto terwakili oleh pemerintah/penguasa,
sebenarnya tak pernah dirugikan oleh hal tersebut. Sebaliknya, mungkin saja
mereka justru menikmati kondisi demikian itu. Rakyatlah yang dirugikan, karena
uang yang telah diserahkan kepada negara (baca: pemerintah) sebagai kewajiban,
tidak diimbangi dengan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Di lingkungan katolik,
permasalahannya berbeda. Komunitas gereja yang hidup dalam kondisi dikotomi minoritas-mayoritas,
selalu ada kekhawatiran akan bayangan-bayang mayoritas. Segala sesuatu yang sifatnya
negatif dalam interen komunitasnya, diupayakan jangan sampai menyembul keluar.
Sebaliknya, hal-hal yang positif selalu dibanggakan sebagai keunggulan orang
katolik. Tak lain hal ini
untuk mempertahankan kesan bahwa institusi katolik itu pasti baik.
Dalam sebuah liburan ke
kampung halaman, saya terperangah melihat perubahan kondisi ekonomi teman saya.
Usia/lama kerjanya di sebuah lembaga katolik belum seberapa, namun kecukupan
ekonominya sangat mencolok. Maklum saja, dia mendapatkan posisi basah, demikian
kata tetangga. Begitulah, di
lembaga katolik pun ada juga posisi basah.
Basah-kering jabatan/pekerjaan
di sebuah lembaga sudah merupakan rahasia umum, tak terkecuali di lembaga
katolik. Rahasia karena kondisi ini tak pernah diakui secara terbuka bahwa
memang benar-benar ada. Umum karena memang banyak orang memakluminya. Basah
bukan dalam arti leksikal, melainkan merupakan sebuah kiasan bahwa
jabatan/pekerjaan itu memberikan penghasilan (baca: uang) yang berlebih entah
legal maupun tidak. Sebaliknya, kering berarti pekerjaan itu tidak memberikan
tambahan uang apa pun selain gajinya. Dengan kata lain, posisi basah adalah
pekerjaan yang berurusan dengan gelimangnya uang. Gelimang dan kelimpahan uang
itu entah dari mana sumber dan bagaimana cara memperolehnya, tergantung dari
kelihaian oknum yang menempatinya.
Seorang pegawai atau pimpinan
sebuah lembaga yang melayani publik, bisa saja didatangi oleh kliennya. Dan
sebagai ungkapan terima kasih atas layanan yang telah diterima, maka klien
tersebut memberikan sesuatu. Contoh paling mudah adalah dalam lembaga
pendidikan. Misalnya, seorang guru di akhir tahun ajaran didatangi wali murid.
Sebagai rasa terima kasih, wali murid memberikan bingkisan kepada guru
tersebut. Hal demikian bisa berkembang, bukan saja bingkisan yang diberikan,
tetapi juga bungkusan dan lain-lain. Bahkan sebelum akhir tahun pun wali murid
sudah mendatangi guru tanpa melupakan bingkisannya, agar anaknya mendapatkan
layanan/perhatian yang lebih baik. Lebih dini lagi, mungkin saja sebelum anak
masuk sekolah, orangtua sudah mendekati guru/kepala sekolah agar anaknya bisa
diterima. Tentu saja ada bentuk terima kasih juga. Hal demikian mungkin saja
dianggap sebagai wajar, walau tetap saja ada kasak-kusuk.
Hubungan/relasi antara
pegawai/pejabat lembaga dan klien berkembang sedemikian rupa. Besarnya
bingkisan dan bungkusan sebagai ungkapan terima kasih berbanding lurus dengan
besarnya tanggung jawab pegawai/pejabat tersebut, atau pun volume finansial
yang terjadi atas berlangsungnya relasi tersebut. Sebuah toko atau penyuplai
barang akan memberikan ungkapan terima kasih kepada pegawai/pimpinan lembaga
yang berbelanja kepadanya. Dan sama dengan seorang wali murid, ungkapan terima
kasih itu pun bisa diberikan sebelum belanja berlangsung. Dengan demikian,
kelangsungan relasi itu bisa terjaga. Demikianlah, pegawai atau pejabat yang
kebetulan berurusan dengan hal ini berada pada posisi yang basah. Tak heran,
mereka yang beruntung pada posisi tersebut memiliki pola dan gaya hidup yang
melebihi kemampuan gajinya. Orang menilai hal itu wajar saja.
Kaitannya dengan masalah
korupsi, semata tergantung pada definisi korupsi itu sendiri. Dalam konteks
kenegaraan, seorang pejabat perlu diaudit kekayaannya untuk mengontrol apakah
kekayaan itu diperoleh secara layak. Apabila kekayaan berkembang secara tidak proporsional dengan pendapatan
gajinya, maka ia terindikasi dalam korupsi. Tetapi hal demikian ini hanya
berlaku pada tingkat pejabat tinggi. Pada tingkat pejabat dan pegawai biasa, celah dan
kesempatan serupa sangat bervariasi. Namun karena pelaksanaan audit dan
pelacakan kekayaan juga memerlukan ongkos tersendiri, maka praktek semacam itu
lolos dari urusan hukum.
Institusi katolik urusannya
tidak sebesar urusan negara. Maka pejabat pun tingkatannya tidak sampai pada
teras dan eselon. Namun kondisi dan praktek sejenis sebagaimana dalam pemerintahan
juga berlangsung. Tempat basah dan kering pun ada dalam institusi katolik.
Entah para pemegang kendali kebijakan kurang menyadari hal ini, atau justru
ikut menikmati kondisi demikian. Menikmati bukan semata berarti bahwa mereka
ikut mendapatkan imbalan/kekayaan di luar haknya. Tetapi mungkin saja karena
ketidak-mampuan mengelola masalah agar tercipta iklim manajerial yang
benar-benar kristiani. Bila hal ini benar, maka hal ini memperkuat argumentasi Paul
Suparno dalam ceramahnya di Magelang 29 Agustus tahun lalu, bahwa nepotisme
mengabaikan profesionalitas[1].
Pengangkatan pimpinan bukan karena profesionalitas dan kemampuan memimpinnya,
namun lebih karena status rohaniwan dan biarawan/biarawatinya. Maklum saja,
sebagaimana dalam kenegaraan, lembaga katolik yang de facto diwakili oleh para pengurus sebenarnya juga tak pernah
dirugikan. Namun demikian, membiarkan berlangsungnya kecurangan dalam berbagai
bentuknya berarti mengingkari misi kristiani yang dicita-citakan oleh para
pengagas dan pendiri lembaga katolik.
Status rohaniwan/biarawan
sebenarnya sangat positif dalam menghindarkan adanya penyelewengan dan korupsi
dalam institusi katolik. Tanpa mengabaikan adanya kekecualian, seorang
rohaniwan/biarawan lebih tangguh dan teruji dalam menghadapi godaan
keduniawian. Dipadu dengan penempatan tenaga atas dasar profesionalitas, dan
tentunya dasar misioner institusi tersebut, maka mudah-mudahan institusi
katolik akan bersih dari berbagai bentuk kecurangan keuangan.
Semoga.
Jambi, 8 Agustus 2007
Rewritten January 21, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar