Cari Blog Ini

Senin, 21 Januari 2013

KORUPSI DI LINGKUNGAN KATOLIK?

oleh  F. Sugeng Mujiono


Adakah korupsi di lingkungan katolik? Jawabnya sangat jelas, tidak ada. Setidaknya, tidak pernah terdengar atau terbaca berita tentang kasus semacam ini sampai ke pengadilan. Adakah kata lain bahwa orang katolik itu jujur-jujur? Semoga demikian. Bahwa suatu saat ada kantong kolekte raib, itu mungkin ’hanyalah kasus kecil yang tak perlu dibesar-besarkan’.
Dalam konteks lebih luas, sebenarnya upaya mengelak atas dugaan korupsi sangat lihai. Belum pernah terdengar, bahwa pelaku korupsi begitu saja mengakui perbuatannya. Bahkan setelah ada bukti kuat pun, dan setelah divonis pengadilan sebagai bersalah dan harus menjalani hukuman, pelaku tetap saja berdalih, merasa sebagai korban fitnah, merasa tidak bersalah. Sementara, negara yang telah kehilangan milyaran, bahkan trilyunan rupiah, tetap saja tidak berupaya secara serius menangani masalah tersebut hingga tuntas dan membuat jera. Sebab, negara yang de facto terwakili oleh pemerintah/penguasa, sebenarnya tak pernah dirugikan oleh hal tersebut. Sebaliknya, mungkin saja mereka justru menikmati kondisi demikian itu. Rakyatlah yang dirugikan, karena uang yang telah diserahkan kepada negara (baca: pemerintah) sebagai kewajiban, tidak diimbangi dengan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Di lingkungan katolik, permasalahannya berbeda. Komunitas gereja yang hidup dalam kondisi dikotomi minoritas-mayoritas, selalu ada kekhawatiran akan bayangan-bayang  mayoritas. Segala sesuatu yang sifatnya negatif dalam interen komunitasnya, diupayakan jangan sampai menyembul keluar. Sebaliknya, hal-hal yang positif selalu dibanggakan sebagai keunggulan orang katolik. Tak lain hal ini untuk mempertahankan kesan bahwa institusi katolik itu pasti baik.
Dalam sebuah liburan ke kampung halaman, saya terperangah melihat perubahan kondisi ekonomi teman saya. Usia/lama kerjanya di sebuah lembaga katolik belum seberapa, namun kecukupan ekonominya sangat mencolok. Maklum saja, dia mendapatkan posisi basah, demikian kata tetangga. Begitulah, di lembaga katolik pun ada juga posisi basah.
Basah-kering jabatan/pekerjaan di sebuah lembaga sudah merupakan rahasia umum, tak terkecuali di lembaga katolik. Rahasia karena kondisi ini tak pernah diakui secara terbuka bahwa memang benar-benar ada. Umum karena memang banyak orang memakluminya. Basah bukan dalam arti leksikal, melainkan merupakan sebuah kiasan bahwa jabatan/pekerjaan itu memberikan penghasilan (baca: uang) yang berlebih entah legal maupun tidak. Sebaliknya, kering berarti pekerjaan itu tidak memberikan tambahan uang apa pun selain gajinya. Dengan kata lain, posisi basah adalah pekerjaan yang berurusan dengan gelimangnya uang. Gelimang dan kelimpahan uang itu entah dari mana sumber dan bagaimana cara memperolehnya, tergantung dari kelihaian oknum yang menempatinya.
Seorang pegawai atau pimpinan sebuah lembaga yang melayani publik, bisa saja didatangi oleh kliennya. Dan sebagai ungkapan terima kasih atas layanan yang telah diterima, maka klien tersebut memberikan sesuatu. Contoh paling mudah adalah dalam lembaga pendidikan. Misalnya, seorang guru di akhir tahun ajaran didatangi wali murid. Sebagai rasa terima kasih, wali murid memberikan bingkisan kepada guru tersebut. Hal demikian bisa berkembang, bukan saja bingkisan yang diberikan, tetapi juga bungkusan dan lain-lain. Bahkan sebelum akhir tahun pun wali murid sudah mendatangi guru tanpa melupakan bingkisannya, agar anaknya mendapatkan layanan/perhatian yang lebih baik. Lebih dini lagi, mungkin saja sebelum anak masuk sekolah, orangtua sudah mendekati guru/kepala sekolah agar anaknya bisa diterima. Tentu saja ada bentuk terima kasih juga. Hal demikian mungkin saja dianggap sebagai wajar, walau tetap saja ada kasak-kusuk.
Hubungan/relasi antara pegawai/pejabat lembaga dan klien berkembang sedemikian rupa. Besarnya bingkisan dan bungkusan sebagai ungkapan terima kasih berbanding lurus dengan besarnya tanggung jawab pegawai/pejabat tersebut, atau pun volume finansial yang terjadi atas berlangsungnya relasi tersebut. Sebuah toko atau penyuplai barang akan memberikan ungkapan terima kasih kepada pegawai/pimpinan lembaga yang berbelanja kepadanya. Dan sama dengan seorang wali murid, ungkapan terima kasih itu pun bisa diberikan sebelum belanja berlangsung. Dengan demikian, kelangsungan relasi itu bisa terjaga. Demikianlah, pegawai atau pejabat yang kebetulan berurusan dengan hal ini berada pada posisi yang basah. Tak heran, mereka yang beruntung pada posisi tersebut memiliki pola dan gaya hidup yang melebihi kemampuan gajinya. Orang menilai hal itu wajar saja.
Kaitannya dengan masalah korupsi, semata tergantung pada definisi korupsi itu sendiri. Dalam konteks kenegaraan, seorang pejabat perlu diaudit kekayaannya untuk mengontrol apakah kekayaan itu diperoleh secara layak. Apabila kekayaan berkembang  secara tidak proporsional dengan pendapatan gajinya, maka ia terindikasi dalam korupsi. Tetapi hal demikian ini hanya berlaku pada tingkat pejabat tinggi. Pada tingkat  pejabat dan pegawai biasa, celah dan kesempatan serupa sangat bervariasi. Namun karena pelaksanaan audit dan pelacakan kekayaan juga memerlukan ongkos tersendiri, maka praktek semacam itu lolos dari urusan hukum.
Institusi katolik urusannya tidak sebesar urusan negara. Maka pejabat pun tingkatannya tidak sampai pada teras dan eselon. Namun kondisi dan praktek sejenis sebagaimana dalam pemerintahan juga berlangsung. Tempat basah dan kering pun ada dalam institusi katolik. Entah para pemegang kendali kebijakan kurang menyadari hal ini, atau justru ikut menikmati kondisi demikian. Menikmati bukan semata berarti bahwa mereka ikut mendapatkan imbalan/kekayaan di luar haknya. Tetapi mungkin saja karena ketidak-mampuan mengelola masalah agar tercipta iklim manajerial yang benar-benar kristiani. Bila hal ini benar, maka hal ini memperkuat argumentasi Paul Suparno dalam ceramahnya di Magelang 29 Agustus tahun lalu, bahwa nepotisme mengabaikan profesionalitas[1]. Pengangkatan pimpinan bukan karena profesionalitas dan kemampuan memimpinnya, namun lebih karena status rohaniwan dan biarawan/biarawatinya. Maklum saja, sebagaimana dalam kenegaraan, lembaga katolik yang de facto diwakili oleh para pengurus sebenarnya juga tak pernah dirugikan. Namun demikian, membiarkan berlangsungnya kecurangan dalam berbagai bentuknya berarti mengingkari misi kristiani yang dicita-citakan oleh para pengagas dan pendiri lembaga katolik.
Status rohaniwan/biarawan sebenarnya sangat positif dalam menghindarkan adanya penyelewengan dan korupsi dalam institusi katolik. Tanpa mengabaikan adanya kekecualian, seorang rohaniwan/biarawan lebih tangguh dan teruji dalam menghadapi godaan keduniawian. Dipadu dengan penempatan tenaga atas dasar profesionalitas, dan tentunya dasar misioner institusi tersebut, maka mudah-mudahan institusi katolik akan bersih dari berbagai bentuk kecurangan keuangan.
Semoga.


Jambi, 8 Agustus 2007
Rewritten January 21,  2013



[1] EDUCARE Edisi 08/III/November 2006 halaman 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar