Misa Rabu Abu di
sebuah paroki di Negeri Awan terasa sangat berkesan bagi umat. Belum pernah umat
mengikuti misa kudus seberkesan ini.
Kornya sangat bagus. “Tuhan” dari Bimbo,
dinyanyikan begitu lembut menyentuh hati sebagai lagu pembuka, membawa suasana
hening ke dalam permenungan yang mendalam. Umat diajak memuji Tuhan, sambil
bercermin pada hatinya, yang merupakan tempat berpadunya pahala dan dosa.
Mereka pun diajak untuk menyadari sebagai manusia lemah dan penuh dosa, yang
kadang menjauh dari-Nya.
Homili juga
sangat memukau sehingga umat tidak sempat berkedip. Dilanjutkan dengan
pengurapan abu sebagai tanda tobat. Sementara, “Berita kepada Kawan” dari Ebiet
G Ade dilantunkan dengan merdu oleh seorang pesolo, diiring musik dari keyboard, dengan ritem yang mampu
menyentuh hati, sehingga umat larut dalam suasana kontemplatif dan tergugah
niatan untuk menjalani masa puasa dengan kesungguhan hati dan benar. Umat pun
semakin menyadari, bahwa segala kejadian alam yang kurang bersahabat ini,
dengan berbagai bencana dan berbagai masalah sosial, semuanya adalah akibat
dosa manusia. Kiranya tak perlu malu untuk bertanya kepada rumput yang
bergoyang.
***
Berita tentang
Rabu Abu di Negeri Awan itu dengan cepat beredar ke alam nyata di nergeri lain.
Dalam sebuah pertemuan APP di sebuah wilayah, umat berbincang tentang kesan
misa Rabu Abu di Negeri Awan tersebut. Hampir semuanya setuju dan memuji
terutama kornya. Namun ternyata pro kontra pun terjadi.
“Dak bisa
seperti itu,” kata Pak Abel. “Itu kor mau misa atau konser?”
“Tapi dak apa kan ?” jawab umat yang
lain. “Itu boleh, kok. Dan yang utama
adalah bisa mengantar suasana doa yang baik. Adakah larangan-larangan untuk
kor?”
Pak Abel
terdiam. Hatinya tetap tidak rela atas suasana misa di Negeri Awan. Namun ia juga
tidak punya dasar untuk berargumen.
Pertemuan
perdana APP yang hanya dihadiri segelintir orang itu berlanjut. Pemandu telah
membawakan renungan secara runtut dan
lancar. Sesampai pada sesi tanggapan, seolah semuanya enggan bicara. Kemudian
dialog mulai menyimpang, dan kembali berbincang tentang kor Rabu Abu di Negeri
Awan.
“Gereja memang
tidak membuat larangan-larangan ini boleh, itu tidak boleh,” Pak Timlit,
sebutan untuk Sie Liturgi, menanggapi. “Dalam sebuah acara penyegaran tentang liturgi
dikatakan, Gereja sangat ketat mejaga dan memelihara kesakralan, kesucian, dan
keagungan liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi. Maka musik dan lagu pun harus
dijaga kesucian dan kesakralannya. Karena musik liturgi itu bukan sekedar
selingan atau iringan untuk perayaan ekaristi. Musik merupakan bagian dari
liturgi itu sendiri, bagian dari perayaan ekaristi.”
“Tu, kan ? Dak boleh lagu
seperti itu untuk misa?” sela Pak Abel menang.
“Sekali lagi,
bukan masalah boleh dan tidak boleh,” jawab
Pak Timlit lagi. “Tetapi memang, sebagai pengurus liturgi atau pemimpin kor, sebaiknya
memahami segala hal ihwal tentang liturgi, dan juga tentang musik liturgi. Pedoman
utamanya adalah dokumen Konsili Vatikan
II, dalam apa yang disebut Sacrosanctum
Consilium. Sie Liturgi seharusnya memahami, mana lagu dan musik yang layak,
dan mana yang tidak layak untuk perayaan ekaristi. Musik dan iramanya apakah memang
sesuai, syairnya apakah memang bersifat biblis. Tidak semua lagu rohani bisa
dimasukkan dalam perayaan ekaristi, apalagi lagu profan.”
“Apa itu lagu
profan?” tanya Pak Abel.
“Ya, lagu-lagu
dangdut, pop, jazz, dan sebagainya itu termasuk lagu profan.”
“Pak Timlit
sudah baca Sacrosanctum Consilium
itu?”
“Wah, punya aja
tidak. Hanya yang saya tahu, itu ada 7 bab, terdiri dari 130 artikel/ayat.
Berisi bermacam dokumen tentang liturgi, termasuk musik liturgi, alat liturgi,
tahun liturgi, dan sebagainya.”
“Tapi Pak,
masalah lagu dan musik itu layak atau tidak layak untuk Ekaristi kan sangat
tergantung penilaian pemimpin kor? Yang terjadi di Negeri Awan, tentu saja pemimpin
kor menilai lagu itu layak, tanpa pertimbangan bagaimana irama dan syairnya.
Yang penting bisa nengantarkan kepada suasana doa yang khusuk.”
“Mudah-mudahan tidak
terjadi di paroki kita. Negeri Awan hanyalah sebuah gambaran fiktif yang ekstrim
dan sangat dilebih-lebihkan. Namun bisa saja hal demikian benar-benar terjadi
di gereja kita, apabila pastor bersama seksi liturgi tidak berusaha menjaga
secara ketat. Dan pemahaman terhadap liturgi memang memerlukan waktu. Perlu
upaya yang lebih intens dan berkesinambungan dari seksi liturgi. Maka, itulah
perlunya paroki memiliki sebuah Tim
Liturgi. Tidak cukup sekedar seksi. Dengan sebuah tim yang mampu
mempelajari dan memahami segala seluk-beluk liturgi, maka perayaan Ekaristi
akan tetap terjaga kesakralan, kesucian, dan keagungannya. Ini juga merupakan
implementasi dari Sacrosanctum Consilium
itu sendiri.”
“Tim Liturgi itu
satu-satunya solusi?”
“Sekali lagi,
perlu ketegasan dari pastor dan seksi liturginya itu. Perlu juga sering
diselenggarakan pertemuan seksi liturgi dari wilayah/kategorial. Dengan
seringnya bertemu, akan berlangsung proses pembelajaran yang mengarah pada pemahaman
yang benar atas liturgi. Itulah makanya, kalau diselenggarakan pertemuan itu
diusahakan bisa ikut. Dengan demikian, mudah-mudahan hal yang terjadi di Negeri Awan
tidak akan terjadi di Gereja kita.”
“Bagus Pak, saya
dukung,” Pak Abel lega. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan.
“Tapi Pak, mengapa
kor bisa dipersiapkan dengan serius, dengan antusias, kompak, dan sangat bagus,
tetapi giliran ada renungan APP hanya segelintir orang. Mengapa demikian?”
tanya Pak Abel.
“Ya itulah. Kita
beragama memang masih dalam taraf formal. Kita lebih menekankan segi ritualnya.
Hakikat kita beragama itu malah terlupakan.”
“Lha hakikat
kita beragama itu apa, Pak Timlit?”
“Kata seorang
cendikia, spirituality is the heart of
religions.”
“Apa lagi tu?”
“Ya
spiritualitas itulah inti dari agama. Spiritualitas yang dimaksud berupa cinta
kasih, kejujuran, keadilan, kebenaran, kesucian, dan sebagainya. Jadi kalau
kita belum memiliki spiritualitas seperti itu, belum jujur, belum adil, belum
benar, dan sebagainya, kita oranag katolik baru katolik formal, katolik
katepe.”
“Kita sendiri
bagaimana ya?”
Tak ada jawab
atas pertanyaan Pak Abel tersebut. Dan berhubung waktu semakin larut, renungan APP
segera diakhiri. Pak Ketwil, sebutan untuk ketua wilayah, membagikan amplop APP,
untuk diisi dan dikumpulkan kembali sebelum hari Kamis Putih.
Pertemuan pun
berakhir.
Jambi,
22 Februari 2007
Rewritten
4 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar