Cari Blog Ini

Senin, 28 Januari 2013

Sakramen Pengakuan Dosa

Oleh Romo Richard Lonsdale *
(Kiriman Bpk Anton Mulyadi)

* Dipersembahkan dengan penuh kasih kepada Theresa dan William Lonsdale,
yang kini telah menikmati sukacita surgawi, dari ananda yang mengasihimu.


MENGAPA MENGAKU DOSA ITU BAIK?

Dikatakan bahwa “Orang Katolik tidak perlu membayar biaya Psikiater (= dokter ahli jiwa) seperti orang lain, sebab kita memperolehnya secara gratis setiap hari Sabtu dalam Kamar Pengakuan.” Yah, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar - hanya sedikit saja imam yang memang seorang psikiater - tetapi sungguh benar bahwa kamu mempunyai seorang penolong yang hebat untuk memberimu nasehat serta penyembuhan dalam Sakramen Rekonsiliasi (atau Sakramen Pengakuan Dosa) yang kamu terima secara teratur. LAGIPULA - dan ini sesungguhnya yang lebih penting - kamu memperoleh kuasa Sakramen untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan dalam hidupmu agar memperoleh damai.

Dikatakan juga bahwa “Pengakuan Dosa itu baik bagi jiwa.” Memang benar demikian. Berbahaya sekali memendam persoalan-persoalan di dalam hati kita sendiri. Seringkali, hal terbaik yang dapat kita lakukan ialah membicarakannya dengan seseorang yang kita percaya. Dengan siapakah kita dapat melakukannya lebih baik daripada dengan seorang imam Katolik?

APA ITU DOSA?

PADA DASARNYA, DOSA IALAH SESUATU YANG KITA LAKUKAN YANG MENYAKITI ORANG LAIN. Jika kita menyakiti orang lain, kita bersalah. Mungkin tampaknya terlalu “Katolik” untuk merasa khawatir akan kesalahan kita, tetapi kesalahan sebenarnya adalah masalah tanggung-jawab. Jika kita menyakiti orang lain, kita harus merasa bersalah karena kita bertanggung jawab atas penderitaan orang itu.

Tentu saja, ada sebagian orang yang khawatir akan kesalahan mereka secara berlebihan. Mereka mempunyai skrupul batin (skrupul: sangat teliti, bahkan kadang berlebihan, pada hal yang sekecil-kecilnya) dan merasa berdosa dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Tetapi hal seperti itu sudah tidak lazim lagi di abad ke-21 ini!

Kebanyakan orang tidak lagi peduli akan akibat-akibat dari perbuatan mereka. Mereka hidup hanya untuk saat ini. Sesungguhnya, segala sesuatu yang kita lakukan membawa akibat bagi orang lain, kadang-kadang akibat baik, tetapi seringkali akibat buruk. Akibat itu disebut “Efek Domino” - yaitu serentetan akibat yang dapat menimbulkan masalah selama bertahun-tahun.

Biasanya ada tiga pihak yang menderita karena dosa: orang yang kamu sakiti, kamu sendiri, dan Tuhan. Mengapa Tuhan? Karena Tuhan adalah Bapa semua orang. Semua Bapa menderita jika anak-anak mereka disakiti. Tuhan itu penuh belas kasih. “Belas Kasih” artinya ikut merasa menderita dengan penderitaan orang lain. Tuhan sungguh-sungguh merasakan penderitaan kita, seolah-olah penderitaan itu menimpa Tuhan sendiri.

UNTUNGNYA, KITA DAPAT MELAKUKAN SESUATU

Begitu kita sadar bahwa kita menyakiti orang lain, saatnyalah bagi kita untuk berubah. Itulah alasan utama Pengakuan Dosa. Tuhan mengampuni kita DAN memberi kita pertolongan untuk berubah.

MENGAPA SAYA HARUS MENGAKUKAN DOSA-DOSA SAYA KEPADA SEORANG MANUSIA?

Sebagian orang mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengakukan dosa-dosa mereka kepada seorang manusia. Mereka mengatakan bahwa mereka dapat mengatakan kepada Tuhan bahwa mereka menyesal dan Tuhan akan mengampuni mereka, di mana saja, dan kapan saja. Tetapi Sakramen Pengakuan Dosa (atau Rekonsiliasi) lebih dari hanya sekedar pengampunan dosa. Jika kita sungguh-sungguh menyesal, kita perlu berubah, berhenti berbuat dosa.

Imam adalah penasehat yang dapat menjelaskan mengapa kita bersalah dan bagaimana kita dapat berubah. Imam tidak berada di sana untuk menghakimi atau pun menghukum kita. Imam berada di sana untuk menganalisa masalah serta menyarankan penyembuhannya. Ia dapat menjelaskan segala sesuatunya dan bahkan akan mengatakan kepadamu jika kamu memang tidak bersalah.

Penitensi adalah bagian dari penyembuhan. Penitensi merupakan suatu langkah kecil awal untuk mengubah cara hidup kita. Kita tidak harus mengubah cara hidup kita saat itu juga, tetapi kita harus berubah. Sakramen Pengakuan Dosa memberi kita kekuatan untuk melakukan perubahan.


DARI MANAKAH SAKRAMEN PENGAKUAN DOSA BERASAL?

Yesus-lah yang memulai Sakramen Rekonsiliasi. Pada hari raya Paskah, Ia bersabda kepada para murid-Nya: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu." Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yoh 20:21-23)

Kuasa ini diwariskan selama berabad-abad. Sakramen adalah semacam bahasa isyarat dari Tuhan. Sakramen berbicara langsung kepada jiwa. Tidak seperti bahasa isyarat lainnya, bahasa isyarat Tuhan memiliki kuasa untuk melakukan apa yang dikatakannya. Isyarat dalam Sakramen Pengakuan adalah absolusi (=pengampunan dosa) oleh imam. Gereja melaksanakan apa yang diperintahkan Yesus kepada kita, “mengampuni dosa orang.”

“Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yak 5:16)

PENITENSI

Absolusi adalah langkah awal dari proses perubahan. Penitensi (= denda dosa) adalah langkah selanjutnya. Penitensi bukanlah suatu hukuman atas dosa-dosa yang kita akukan. Penitensi adalah langkah untuk menyembuhkan. Penitensi yang terbaik bukanlah setumpuk doa-doa belaka, tetapi tindakan-tindakan nyata untuk mengatasi dosa. Misalnya, jika seseorang mengaku dosa karena marah kepada sahabatnya, penitensinya kemungkinan adalah berlaku lebih lembut dan sabar kepada sahabatnya itu. Memang suatu hukuman yang berat, tetapi dapat menghasilkan mukjizat.

BAGAIMANA SAYA DAPAT MENGAKU DOSA DENGAN BAIK?

Selalu mulai dengan mengingat. Pikirkan orang-orang yang ada di sekitarmu. Mungkin diawali dengan keluargamu. Kemudian yang lainnya juga: sanak saudara, tetangga, rekan sekerja, teman sekolah, orang yang kamu potong jalannya di jalan raya minggu lalu, dan sebagainya, dan sebagainya.

Pikirkan tentang kejadian-kejadian baru-baru ini dalam hidupmu yang melibatkan orang-orang tersebut. Pengaruh apakah yang kamu berikan kepada mereka? Apakah, jika ada, yang kamu lakukan sehingga menyakiti mereka? Juga, apakah yang seharusnya kamu lakukan, tetapi tidak kamu lakukan? Adakah seseorang yang membutuhkan pertolongan dan kamu tidak menawarkan pertolonganmu?

Sekarang tarik mundur ingatanmu agak sedikit jauh ke belakang. Kemungkinan kamu tidak melakukan suatu dosa besar atau “dosa berat”, tetapi adakah dosa-dosa yang merupakan kebiasaan, yang kamu lakukan dan lakukan lagi. Setetes air hujan mungkin tidak berarti, tetapi jika tetesan-tetesan itu ditampung untuk jangka waktu yang lama, maka tetesan hujan itu dapat mengakibatkan banjir! Suatu ejekan, yang kecil dan sepele - jika diulang dan diulang- dapat menjadi gunung kebencian.

PEMERIKSAAN BATIN

Kecuali jika kamu mempunyai ingatan yang luar biasa, pada umumnya kamu lupa akan sebagian besar perkara yang kamu lakukan. Oleh karena itulah suatu sarana sederhana diperlukan untuk membantumu. Sarana itu disebut “Pemeriksaan Batin” yaitu suatu daftar pertanyaan untuk diajukan kepada dirimu sendiri sebelum kamu mengaku dosa. (lihat Lembar Pemeriksaan Batin)

Suara Batin atau Hati Nurani adalah kesadaran moral atau etik atas kelakuanmu dengan dorongan untuk memilih yang baik dari yang jahat. Suara batin haruslah dibentuk dalam terang Sabda Allah, yaitu melalui Gereja.

MENGAKU DOSA

Pelaksanaan Sakramen Pengakuan dapat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Di beberapa tempat, pengakuan dilaksanakan dalam Kamar Pengakuan. Di tempat lainnya, dibuat suatu tempat pengakuan khusus.

Kamu boleh berlutut di balik sekat atau boleh juga berlutut berhadapan muka dengan imam. Secara pribadi, saya lebih menyukai posisi berlutut menghadap imam, sebab imam berada di sana untuk menjadi penasehatmu. Jika ia dapat melihat ke dalam matamu, ia dapat mempunyai gambaran yang lebih baik bagaimana menasehatimu. Matamu berbicara banyak tentang kamu! Imam tidak berada di sana untuk memarahimu atau menghakimimu. Imam juga seorang yang berdosa seperti semua orang lain. Imam harus mengaku dosa juga!

APA YANG SAYA KATAKAN?

Tata cara Sakramen Pengakuan dapat berbeda-beda, tetapi biasanya imam akan menyambutmu. Mungkin imam akan berbincang sejenak denganmu, atau memulai dengan sebuah doa. Terkadang imam membacakan suatu perikop dari Kitab Suci tentang belas kasih Tuhan.

Sungguh, kamu tidak perlu khawatir tentang rumusan-rumusan atau doa-doa tertentu. Memang mungkin ada suatu rumusan standard di tempatmu, tetapi yang terbaik adalah menjadikan segala sesuatunya praktis. Sebaiknya kamu merasa santai dan mengatakan kepada imam sudah berapa lamakah sejak pengakuanmu yang terakhir, atau menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan oleh imam.

Yang terpenting adalah meminta pertolongan. Jika kamu terbiasa tanpa pikir panjang mengucapkan suatu daftar panjang tentang hal-hal yang sama, mungkin kamu dapat mencoba untuk berkonsentrasi pada beberapa di antaranya, daripada menyebutkan semua yang biasa kamu katakan.

Imam mungkin akan meminta keterangan lebih lanjut, tetapi hal itu hanya dimaksudkan agar ia dapat memberikan nasehat yang terbaik bagimu. Hal utama yang perlu diingat adalah bahwa pengakuanmu itu sifatnya pribadi dan hanya dimaksudkan untuk menolongmu. Kamu berada di sana untuk didamaikan kembali dengan Tuhan. Pastilah Tuhan merindukan untuk bersahabat kembali denganmu!

SESUDAH PENGAKUAN DOSA

Kamu akan keluar dari Kamar Pengakuan dengan perasaan lega! Cobalah untuk melaksanakan penitensi penyembuhanmu sesegera mungkin. Kamu telah diampuni, disembuhkan serta dipulihkan sepenuhnya persahabatanmu dengan Tuhan. Salah satu hal terindah tentang pengampunan dosa adalah bahwa Tuhan mengampuni dan melupakan! Begitu dosa-dosamu telah diampuni, kamu diperbaharui dalam rahmat Tuhan. Kamu harus mempunyai niat yang kuat untuk menghindari dosa di masa mendatang. Tetapi jika kamu tergelincir atau melakukan kesalahan, ingatlah TUHAN SENANTIASA ADA DI SANA DENGAN KASIH-NYA!

sumber : News For Kids, Rm Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale.”

Senin, 21 Januari 2013

KORUPSI DI LINGKUNGAN KATOLIK?

oleh  F. Sugeng Mujiono


Adakah korupsi di lingkungan katolik? Jawabnya sangat jelas, tidak ada. Setidaknya, tidak pernah terdengar atau terbaca berita tentang kasus semacam ini sampai ke pengadilan. Adakah kata lain bahwa orang katolik itu jujur-jujur? Semoga demikian. Bahwa suatu saat ada kantong kolekte raib, itu mungkin ’hanyalah kasus kecil yang tak perlu dibesar-besarkan’.
Dalam konteks lebih luas, sebenarnya upaya mengelak atas dugaan korupsi sangat lihai. Belum pernah terdengar, bahwa pelaku korupsi begitu saja mengakui perbuatannya. Bahkan setelah ada bukti kuat pun, dan setelah divonis pengadilan sebagai bersalah dan harus menjalani hukuman, pelaku tetap saja berdalih, merasa sebagai korban fitnah, merasa tidak bersalah. Sementara, negara yang telah kehilangan milyaran, bahkan trilyunan rupiah, tetap saja tidak berupaya secara serius menangani masalah tersebut hingga tuntas dan membuat jera. Sebab, negara yang de facto terwakili oleh pemerintah/penguasa, sebenarnya tak pernah dirugikan oleh hal tersebut. Sebaliknya, mungkin saja mereka justru menikmati kondisi demikian itu. Rakyatlah yang dirugikan, karena uang yang telah diserahkan kepada negara (baca: pemerintah) sebagai kewajiban, tidak diimbangi dengan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Di lingkungan katolik, permasalahannya berbeda. Komunitas gereja yang hidup dalam kondisi dikotomi minoritas-mayoritas, selalu ada kekhawatiran akan bayangan-bayang  mayoritas. Segala sesuatu yang sifatnya negatif dalam interen komunitasnya, diupayakan jangan sampai menyembul keluar. Sebaliknya, hal-hal yang positif selalu dibanggakan sebagai keunggulan orang katolik. Tak lain hal ini untuk mempertahankan kesan bahwa institusi katolik itu pasti baik.
Dalam sebuah liburan ke kampung halaman, saya terperangah melihat perubahan kondisi ekonomi teman saya. Usia/lama kerjanya di sebuah lembaga katolik belum seberapa, namun kecukupan ekonominya sangat mencolok. Maklum saja, dia mendapatkan posisi basah, demikian kata tetangga. Begitulah, di lembaga katolik pun ada juga posisi basah.
Basah-kering jabatan/pekerjaan di sebuah lembaga sudah merupakan rahasia umum, tak terkecuali di lembaga katolik. Rahasia karena kondisi ini tak pernah diakui secara terbuka bahwa memang benar-benar ada. Umum karena memang banyak orang memakluminya. Basah bukan dalam arti leksikal, melainkan merupakan sebuah kiasan bahwa jabatan/pekerjaan itu memberikan penghasilan (baca: uang) yang berlebih entah legal maupun tidak. Sebaliknya, kering berarti pekerjaan itu tidak memberikan tambahan uang apa pun selain gajinya. Dengan kata lain, posisi basah adalah pekerjaan yang berurusan dengan gelimangnya uang. Gelimang dan kelimpahan uang itu entah dari mana sumber dan bagaimana cara memperolehnya, tergantung dari kelihaian oknum yang menempatinya.
Seorang pegawai atau pimpinan sebuah lembaga yang melayani publik, bisa saja didatangi oleh kliennya. Dan sebagai ungkapan terima kasih atas layanan yang telah diterima, maka klien tersebut memberikan sesuatu. Contoh paling mudah adalah dalam lembaga pendidikan. Misalnya, seorang guru di akhir tahun ajaran didatangi wali murid. Sebagai rasa terima kasih, wali murid memberikan bingkisan kepada guru tersebut. Hal demikian bisa berkembang, bukan saja bingkisan yang diberikan, tetapi juga bungkusan dan lain-lain. Bahkan sebelum akhir tahun pun wali murid sudah mendatangi guru tanpa melupakan bingkisannya, agar anaknya mendapatkan layanan/perhatian yang lebih baik. Lebih dini lagi, mungkin saja sebelum anak masuk sekolah, orangtua sudah mendekati guru/kepala sekolah agar anaknya bisa diterima. Tentu saja ada bentuk terima kasih juga. Hal demikian mungkin saja dianggap sebagai wajar, walau tetap saja ada kasak-kusuk.
Hubungan/relasi antara pegawai/pejabat lembaga dan klien berkembang sedemikian rupa. Besarnya bingkisan dan bungkusan sebagai ungkapan terima kasih berbanding lurus dengan besarnya tanggung jawab pegawai/pejabat tersebut, atau pun volume finansial yang terjadi atas berlangsungnya relasi tersebut. Sebuah toko atau penyuplai barang akan memberikan ungkapan terima kasih kepada pegawai/pimpinan lembaga yang berbelanja kepadanya. Dan sama dengan seorang wali murid, ungkapan terima kasih itu pun bisa diberikan sebelum belanja berlangsung. Dengan demikian, kelangsungan relasi itu bisa terjaga. Demikianlah, pegawai atau pejabat yang kebetulan berurusan dengan hal ini berada pada posisi yang basah. Tak heran, mereka yang beruntung pada posisi tersebut memiliki pola dan gaya hidup yang melebihi kemampuan gajinya. Orang menilai hal itu wajar saja.
Kaitannya dengan masalah korupsi, semata tergantung pada definisi korupsi itu sendiri. Dalam konteks kenegaraan, seorang pejabat perlu diaudit kekayaannya untuk mengontrol apakah kekayaan itu diperoleh secara layak. Apabila kekayaan berkembang  secara tidak proporsional dengan pendapatan gajinya, maka ia terindikasi dalam korupsi. Tetapi hal demikian ini hanya berlaku pada tingkat pejabat tinggi. Pada tingkat  pejabat dan pegawai biasa, celah dan kesempatan serupa sangat bervariasi. Namun karena pelaksanaan audit dan pelacakan kekayaan juga memerlukan ongkos tersendiri, maka praktek semacam itu lolos dari urusan hukum.
Institusi katolik urusannya tidak sebesar urusan negara. Maka pejabat pun tingkatannya tidak sampai pada teras dan eselon. Namun kondisi dan praktek sejenis sebagaimana dalam pemerintahan juga berlangsung. Tempat basah dan kering pun ada dalam institusi katolik. Entah para pemegang kendali kebijakan kurang menyadari hal ini, atau justru ikut menikmati kondisi demikian. Menikmati bukan semata berarti bahwa mereka ikut mendapatkan imbalan/kekayaan di luar haknya. Tetapi mungkin saja karena ketidak-mampuan mengelola masalah agar tercipta iklim manajerial yang benar-benar kristiani. Bila hal ini benar, maka hal ini memperkuat argumentasi Paul Suparno dalam ceramahnya di Magelang 29 Agustus tahun lalu, bahwa nepotisme mengabaikan profesionalitas[1]. Pengangkatan pimpinan bukan karena profesionalitas dan kemampuan memimpinnya, namun lebih karena status rohaniwan dan biarawan/biarawatinya. Maklum saja, sebagaimana dalam kenegaraan, lembaga katolik yang de facto diwakili oleh para pengurus sebenarnya juga tak pernah dirugikan. Namun demikian, membiarkan berlangsungnya kecurangan dalam berbagai bentuknya berarti mengingkari misi kristiani yang dicita-citakan oleh para pengagas dan pendiri lembaga katolik.
Status rohaniwan/biarawan sebenarnya sangat positif dalam menghindarkan adanya penyelewengan dan korupsi dalam institusi katolik. Tanpa mengabaikan adanya kekecualian, seorang rohaniwan/biarawan lebih tangguh dan teruji dalam menghadapi godaan keduniawian. Dipadu dengan penempatan tenaga atas dasar profesionalitas, dan tentunya dasar misioner institusi tersebut, maka mudah-mudahan institusi katolik akan bersih dari berbagai bentuk kecurangan keuangan.
Semoga.


Jambi, 8 Agustus 2007
Rewritten January 21,  2013



[1] EDUCARE Edisi 08/III/November 2006 halaman 22

Rabu Abu di Negri Awan

Adakah aturan, bahwa lagu ini boleh untuk perayaan ekaristi, lagu itu tidak boleh; musik ini boleh, musik itu tidak boleh?
           
Misa Rabu Abu di sebuah paroki di Negeri Awan terasa sangat berkesan bagi umat. Belum pernah umat mengikuti misa kudus seberkesan ini. Kornya sangat bagus. “Tuhan”  dari Bimbo, dinyanyikan begitu lembut menyentuh hati sebagai lagu pembuka, membawa suasana hening ke dalam permenungan yang mendalam. Umat diajak memuji Tuhan, sambil bercermin pada hatinya, yang merupakan tempat berpadunya pahala dan dosa. Mereka pun diajak untuk menyadari sebagai manusia lemah dan penuh dosa, yang kadang menjauh dari-Nya.
Homili juga sangat memukau sehingga umat tidak sempat berkedip. Dilanjutkan dengan pengurapan abu sebagai tanda tobat. Sementara, “Berita kepada Kawan” dari Ebiet G Ade dilantunkan dengan merdu oleh seorang pesolo, diiring musik dari keyboard, dengan ritem yang mampu menyentuh hati, sehingga umat larut dalam suasana kontemplatif dan tergugah niatan untuk menjalani masa puasa dengan kesungguhan hati dan benar. Umat pun semakin menyadari, bahwa segala kejadian alam yang kurang bersahabat ini, dengan berbagai bencana dan berbagai masalah sosial, semuanya adalah akibat dosa manusia. Kiranya tak perlu malu untuk bertanya kepada rumput yang bergoyang.
***
Berita tentang Rabu Abu di Negeri Awan itu dengan cepat beredar ke alam nyata di nergeri lain. Dalam sebuah pertemuan APP di sebuah wilayah, umat berbincang tentang kesan misa Rabu Abu di Negeri Awan tersebut. Hampir semuanya setuju dan memuji terutama kornya. Namun ternyata pro kontra pun terjadi.
“Dak bisa seperti itu,” kata Pak Abel. “Itu kor mau misa atau konser?”
“Tapi dak apa kan?” jawab umat yang lain. “Itu boleh, kok.  Dan yang utama adalah bisa mengantar suasana doa yang baik. Adakah larangan-larangan untuk kor?”
Pak Abel terdiam. Hatinya tetap tidak rela atas suasana misa di Negeri Awan. Namun ia juga tidak punya dasar untuk berargumen.
Pertemuan perdana APP yang hanya dihadiri segelintir orang itu berlanjut. Pemandu telah membawakan  renungan secara runtut dan lancar. Sesampai pada sesi tanggapan, seolah semuanya enggan bicara. Kemudian dialog mulai menyimpang, dan kembali berbincang tentang kor Rabu Abu di Negeri Awan.
“Gereja memang tidak membuat larangan-larangan ini boleh, itu tidak boleh,” Pak Timlit, sebutan untuk Sie Liturgi, menanggapi. “Dalam sebuah acara penyegaran tentang liturgi dikatakan, Gereja sangat ketat mejaga dan memelihara kesakralan, kesucian, dan keagungan liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi. Maka musik dan lagu pun harus dijaga kesucian dan kesakralannya. Karena musik liturgi itu bukan sekedar selingan atau iringan untuk perayaan ekaristi. Musik merupakan bagian dari liturgi itu sendiri, bagian dari perayaan ekaristi.”
“Tu, kan? Dak boleh lagu seperti itu untuk misa?” sela Pak Abel menang.
“Sekali lagi, bukan masalah boleh dan tidak boleh,”  jawab Pak Timlit lagi. “Tetapi memang, sebagai pengurus liturgi atau pemimpin kor, sebaiknya memahami segala hal ihwal tentang liturgi, dan juga tentang musik liturgi. Pedoman utamanya  adalah dokumen Konsili Vatikan II, dalam apa yang disebut Sacrosanctum Consilium. Sie Liturgi seharusnya memahami, mana lagu dan musik yang layak, dan mana yang tidak layak untuk perayaan ekaristi. Musik dan iramanya apakah memang sesuai, syairnya apakah memang bersifat biblis. Tidak semua lagu rohani bisa dimasukkan dalam perayaan ekaristi, apalagi lagu profan.”
“Apa itu lagu profan?”  tanya Pak Abel.
“Ya, lagu-lagu dangdut, pop, jazz, dan sebagainya itu termasuk lagu profan.”
“Pak Timlit sudah baca Sacrosanctum Consilium itu?”
“Wah, punya aja tidak. Hanya yang saya tahu, itu ada 7 bab, terdiri dari 130 artikel/ayat. Berisi bermacam dokumen tentang liturgi, termasuk musik liturgi, alat liturgi, tahun liturgi, dan sebagainya.”
“Tapi Pak, masalah lagu dan musik itu layak atau tidak layak untuk Ekaristi kan sangat tergantung penilaian pemimpin kor? Yang terjadi di Negeri Awan, tentu saja pemimpin kor menilai lagu itu layak, tanpa pertimbangan bagaimana irama dan syairnya. Yang penting bisa nengantarkan kepada suasana doa yang khusuk.”
“Mudah-mudahan tidak terjadi di paroki kita. Negeri Awan hanyalah sebuah gambaran fiktif yang ekstrim dan sangat dilebih-lebihkan. Namun bisa saja hal demikian benar-benar terjadi di gereja kita, apabila pastor bersama seksi liturgi tidak berusaha menjaga secara ketat. Dan pemahaman terhadap liturgi memang memerlukan waktu. Perlu upaya yang lebih intens dan berkesinambungan dari seksi liturgi. Maka, itulah perlunya paroki memiliki sebuah Tim Liturgi. Tidak cukup sekedar seksi. Dengan sebuah tim yang mampu mempelajari dan memahami segala seluk-beluk liturgi, maka perayaan Ekaristi akan tetap terjaga kesakralan, kesucian, dan keagungannya. Ini juga merupakan implementasi dari Sacrosanctum Consilium itu sendiri.”
“Tim Liturgi itu satu-satunya solusi?”
“Sekali lagi, perlu ketegasan dari pastor dan seksi liturginya itu. Perlu juga sering diselenggarakan pertemuan seksi liturgi dari wilayah/kategorial. Dengan seringnya bertemu, akan berlangsung proses pembelajaran yang mengarah pada pemahaman yang benar atas liturgi. Itulah makanya, kalau diselenggarakan pertemuan itu diusahakan bisa ikut. Dengan demikian, mudah-mudahan hal yang terjadi di Negeri Awan tidak akan terjadi di Gereja kita.”
“Bagus Pak, saya dukung,” Pak Abel lega. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan.
“Tapi Pak, mengapa kor bisa dipersiapkan dengan serius, dengan antusias, kompak, dan sangat bagus, tetapi giliran ada renungan APP hanya segelintir orang. Mengapa demikian?” tanya Pak Abel.
“Ya itulah. Kita beragama memang masih dalam taraf formal. Kita lebih menekankan segi ritualnya. Hakikat kita beragama itu malah terlupakan.”
“Lha hakikat kita beragama itu apa, Pak Timlit?”
“Kata seorang cendikia, spirituality is the heart of religions.
“Apa lagi tu?”
“Ya spiritualitas itulah inti dari agama. Spiritualitas yang dimaksud berupa cinta kasih, kejujuran, keadilan, kebenaran, kesucian, dan sebagainya. Jadi kalau kita belum memiliki spiritualitas seperti itu, belum jujur, belum adil, belum benar, dan sebagainya, kita oranag katolik baru katolik formal, katolik katepe.”
“Kita sendiri bagaimana ya?”
Tak ada jawab atas pertanyaan Pak Abel tersebut. Dan berhubung waktu semakin larut, renungan APP segera diakhiri. Pak Ketwil, sebutan untuk ketua wilayah, membagikan amplop APP, untuk diisi dan dikumpulkan kembali sebelum hari Kamis Putih.
Pertemuan pun berakhir.

                                                                        Jambi, 22 Februari 2007
                                                                        Rewritten 4 Desember 2012