Bacaan: Matius 1:24.
Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.
Renungan:
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “hamba” merupakan suatu kata yang barangkali menjijikkan. Kata “hamba” sering kita bayangkan sebagai “budak”, sehingga kita sering memandang rendah pekerjaan seorang hamba. Kendati demikian, sebenarnya yang dimaksud dengan hamba dalam teks ini lebih dari itu. Hamba yang dimaksud di sini adalah hamba Tuhan.
Memang tidak salah bila kita berasumsi bahwa seorang hamba itu adalah seorang suruhan. Seorang hamba hanya berpasrah pada tuannya. Namun, betapa mulianya jika seorang hamba yang dimaksud adalah hamba Tuhan. Seorang hamba Tuhan tentunya berpasrah kepada Tuhan sebagai Tuannya. Oleh sebab itu menjadi pertanyaan bagi kita sekarang ialah: apakah kita mau menjadi hamba Tuhan dengan cara rela untuk memasrahkan segala nasib hidup kita padaNya? Ingat, kerelaan kita untuk selalu berpasrah pada Tuhan adalah kunci utama dalam mengabdi Tuhan sebagai orang-orang Katolik sejati. Demikianlah sikap Yusuf untuk mengikuti kata malaikat, ia dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati menyerahkan segala keputusan sesuai dengan kehendak Allah. Iman kita tidak sebanding dengan iman Yusuf. Maka Yusuf menjadi teladan kita dalam mengabdi terhadap Allah.
Hari Senin, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:38.
Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Lalu malaikat itu meninggalkan dia.
Renungan:
Maria menerima khabar dari malaikat Gabriel yang menyampaikan pesan Allah bahwa Maria akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki. Sebuah kalimat yang diungkapkan Maria kepada malaikat itu, “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan”.
Jika Maria mengungkapkan bahwa dirinya hamba Tuhan dengan kata “sesungguhnya” bukan berarti malaikat tidak tahu siapa Maria. Allah telah memilih Maria. Namun kerendahan hati Marialah yang mendorongnya untuk menunjukkan siapa sebenarnya Maria di hadapan Malaikat Tuhan. Kata-kata Maria memperjelas bahwa ia adalah wanita yang pantas menerima kepercayaan dari Tuhan sendiri.
Maria mencoba mengungkapkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan. Namun Maria sekaligus memberikan diri sebagai hamba Tuhan untuk dipakai oleh Tuhan. Ia mengatakan kepada malaikat “jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Maria merelakan dirinya untuk menjalani apa yang dipesan Tuhan lewat malaikat.
Kesediaan diri Maria yang penuh dengan tantangan inilah yang menjadikan Maria menonjol dalam sikap beriman. Dua hal yang pantas kita teladani dari Maria pada masa Adven ini adalah: pertama sikap rendah hati di hadapan Tuhan, dan yang kedua adalah beriman kepada Tuhan secara total, percaya dan rela menjalani kehendak Tuhan. Adakah kedua sikap tersebut kita miliki? Pada saat kita membuat tanda salib, apakah kita sungguh mengimani Allah Tritunggal atau hanya karena sudah terbiasa saja?
Hari Selasa, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:41-44.
Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
Renungan:
Hanya para ibu yang dapat berbicara tentang sukacita melahirkan seorang bayi di dunia. Dalam iman, Maria dan Elisabeth merasakan kehadiran Allah melalui bayi yang sedang mereka kandung: Elisabet mengandung Yohanes dan Maria mengandung Yesus.
Dalam kehidupan kita sebagai orang beriman, kapan kita merasakan kehadiran Tuhan? Apakah hanya ketika doa kita dikabulkan oleh Tuhan, kita baru merasakan adanya kehadiran Tuhan? Tuhan itu hadir setiap saat di dalam seluruh perjalanan hidup kita masing-masing. Oleh sebab itu marilah kita bersama-sama memberikan hadiah terindah bagi Sang Bayi yang akan lahir di palungan dengan cara selalu menyadari rahmat kehadiranNya dalam setiap pengalaman keseharian kita.
Hari Rabu, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:46-49.
Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan namaNya adalah kudus.
Renungan:
Bunda Maria bersyukur karena karyaNya yang agung diserahkan kepada kita manusia. Dalam hidup kita sehari-hari, kita pun sering mengucapkan syukur kepada Tuhan. Namun yang menjadi pertanyaan ialah apa alasan kita mengucap syukur? Apakah kita mengucap syukur hanya karena berhasil dalam usaha-usaha besar? Lalu, bagaimana dengan usaha-usaha kita yang seringkali gagal: apakah kita juga mampu untuk mengucap syukur?
Patut kita sadari bersama bahwa tidak ada alasan dalam hidup ini untuk tidak mengucapkan syukur. Entah apa pun usaha kita dalam hidup (berhasil atau tidak), ungkapan syukur pada Tuhan harus selalu kita nyatakan. Kita harus ingat bahwa lalai bersyukur, dalam arti tertentu, sama artinya dengan lalai akan segala anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.
Hari Kamis, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:57-58.
Kemudian genaplah bulannya bagi Elisabet untuk bersalin dan ia pun melahirkan seorang seorang anak laki-laki. Ketika tetanga-tetangganya serta sanak saudaranya mendengar, bahwa Tuhan telah menunjukkan rahmatNya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.
Renungan:
Kisah kelahiran Yohanes Pembaptis dalam teks Injil ini merupakan suatu permenungan yang amat bagus bagi para orangtua. Para orangtua tentunya sangat bergembira bila melihat anaknya lahir dengan selamat. Kendati demikian, tidak jarang juga kita jumpai bahwa para orangtua justru tidak menghendaki anaknya lahir.
Ada banyak alasan yang digunakan para orangtua untuk membenarkan tidakannya ini (tidak menghendaki anaknya lahir). Salah satu alasan yang sering kita dengar ialah karena orang tua takut tidak mampu untuk menyejahterakan anaknya itu. Karena alasan inilah maka dalam beberapa berita di Televisi ataupun di Radio sering kita lihat dan dengar bahwa ada orangtua yang tega membuang atau bahkan menjual anaknya yang baru lahir. Perbuatan ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan, karena sang anak pada dasarnya merupakan anugerah Tuhan sendiri.
Membuang, menyingkirkan, atau bahkan menyia-nyiakan anak sama artinya dengan membuang, menyingkirkan, dan menyia-nyiakan Tuhan sendiri. Oleh sebab itu, marilah kita sebagai orangtua selalu menjaga dan merawat anak-anak kita dengan semangat penuh cinta akan anugerah kasih Tuhan.
Hari Jum’at, Pekan 4 Adven.
Bacaan: Lukas 1:67-69.
Dan Zakaria, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umatNya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hambaNya itu”.
Renungan:
Hari Natal merupakan hari yang sungguh-sungguh kita nantikan. Sudah tiga minggu, terhitung sejak dimulainya masa Adven, kita bersiap-siap untuk menyambut hari Natal. Banyak hal yang mungkin telah kita renungkan demi menyambut lahirnya Sang Juruselamat itu. Kendati demikian, patut kita pertanyakan bersama ialah sungguhkah kita menantikan kedatangan Yesus, Sang Juruselamat, yang akan lahir di dunia dari dalam diri perawan Maria tersebut?
Sungguhkah kita sudah mempersiapkan hati dan pikiran kita untuk menyambutNya? Mari kita sadari bersama bahwa persiapan akan kedatangan Sang Juruselamat itu bukan hanya persiapan fisik (pembentukan panitia Natal, gua-gua Natal di gereja, tulisan-tulisan Natal di gereja dan rumah, dan lain sebaginya), melainkan juga persiapan rohani (permenungan diri kita sebagai orang beriman dalam menyambut kedatangan Tuhan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar