Cari Blog Ini
Senin, 04 Maret 2013
Sikap Negatif Menghalangi Karya Keselamatan
Dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama ketika belanja atau membeli sesuatu, barang buatan luar negeri itu lebih laris daripada buatan dalam negeri. Laptop Samsung lebih menarik dibandingkan Axioo. Sekolah luar negeri juga lebih bergengsi daripada sekolah dalam negeri. Walaupun sama-sama kuliah di Universitas Negeri, tetapi kalau yang satu Universitas Negeri di Jakarta merasa lebih berbobot dibanding Universitas Negeri di Jambi. Sama-sama sekolah SMU, tetapi orang tua sering merasa lebih mantap kalau sekolah di luar Jambi. Perasaan lebih hebat, lebih kata atau lebih berbobot dari yang lain, bisa menimbulkan sikap menolak, tertutup, dan bahkan menghalangi karya Allah.
Setelah dibaptis di sungai Yordan, Yesus berkeliling Galilea dan kota-kota di sekitarnya. Dia bisa membuat mujizat, mengajar dan mewujudkan karya Allah. Tetapi ketika di Nazaret, tempat Dia kecil dulu, Yesus di tolak oleh orang-orang yang ada di kota itu. Di Nazaret Yesus tidak membuat mukjizat-mujizat, karena karya Allah dihalangi oleh sikap sombong, negativethinking dan sikap menolak.
Dalam buku “Mengikuti jejak Kristus” penulis menuliskan demikian: “Jangan berpikir buruk mengenai orang lain, meskipun sekiranya tindakan dan kata-kata orang tersebut memberi alasan yang cukup kepada kita untuk berbuat demikian. Jangan melancarkan kritikan yang negatif; bilamana engkau tidak dapat memuji, tidak usah berkata apa-apa. Jangan membicarakan keburukan saudaramu, walaupun engkau mempunyai alasan yang cukup kuat untuk melakukannya. Gunjingan (gosip) adalah sampah yang mengotori dan merintangi karya kerasulan-karya keselamatan Allah”.
Pada satu ketika ada seorang tukang taman tinggal di pinggiran kota. Dia suka menanam berbagai macam jenis bunga di halaman rumahnya. Tamannya cukup luas, bagus dan indah. Pada satu hari ketika ia sedang keliling taman, dia menemukan rumput liar tumbuh di bagian barat dari tamannya. Dia jengkel, kecewa dan merasa gagal memelihara taman itu, oleh karena ada rumput liar yang terlewatkan sehingga bisa tumbuh bebas. Maka dengan geram rendetan rumput itu ia bersihkan. Tetapi setiap kali ia lewat di situ, Tendean rumput itu tumbuh lagi. Seluruh energinya diperas untuk membersihkan rumput liar tersebut yang dipandang mengotori tamannya. Akhirnya ia hampir putus asa karena tidak berhasil memusnahkannya. Dia mengirim surat kepada seorang ahli pertamanan. Apa nasehatnya! “Semakin saudara membenci tanaman liar itu, anda semakin kacau dan anda semakin dikuasai rasa benci dan kecewa. Coba sekarang jangan membenci, tetapi mencintai tanaman liar itu. Pangkaslah seperti anda memangkas bunga yang lain, pupuklah dan rawatlah. Yakinlah bahwa ia akan menjadi indah. Benar, petuah itu dilakukannya. Akhirnya dia menemukan rumput liar itu malah menambah indahnya taman bunganya.
Kita sering dikuasai oleh rasa jengkel, dendam, benci dan kegagalan masa lampau. Seolah-olah kita berhadapan dengan liang kubur yang tidak mungkin dikalahkan. Akibatnya sungguh sangat mengerikan baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain dan untuk karya Allah. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman dikasihi dan hidup dalam semangat Roh Allah. Yeremia, memiliki pengalaman dikasihi oleh Allah: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau”. Pengalaman dikenal, dipilih, dikuduskan dan disambut dengan penuh kasih akan membuahkan sikap dan tingkah laku yang setia, tegas dan berani memberikan diri seutuhnya kepada orang lain; tegas dan tidak berpikiran negatif terhadap orang lain, tetapi memiliki sikap postivethinking
Dapatkah Engkau Minum dari Cawan Itu? (Part I)
Fr. Diakon Yohanes Sigit SCJ
Ketika
Yesus bertanya kepada teman-teman-Nya, Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus,
"Dapatkah kamu minum cawan yang akan Kuminum?" Ia mengajukan
pertanyaan yang langsung menusuk ke inti keimanan dan kehidupan kita sebagai
murid-murid-Nya (Mrk 10: 35-45). Pada saat kita mengucapkan janji babtis, kita
mengungkapkan niat untuk setia kepada-Nya dengan sekuat tenaga dan pertanyaan
ini nampaknya tidak begitu sukar untuk dijawab. Dengan penuh keyakinan dan semangat
yang berkobar-kobar kita berani menjawab "ya" dengan rasa mantap.
Hari ini, pertanyaan yang sama
muncul kembali. Pertanyaan "Dapatkah saya, dapatkah kita, minum cawan yang
diminum Yesus?" menjadi tantangan spiritual bagi kita. Pertanyaan yang
dikemukakan oleh Yesus dalam Ekaristi hari ini dihadirkan kembali. Pertanyaan
ini mempunyai kekuatan membongkar hati yang mengeras dan membuka tabir peyangga
kehidupan rohani. "dapatkah kita memegang cawan kehidupan ini di dalam
tangan kita? Dapatkah kita mengangkatnya sehingga orang lain bias melihatnya,
dan dapatkah kita meminumnya sampai habis? Minum dari cawan itu lebih dari pada
sekadar meneguk apapun yang ada di dalamnya, sama halnya seperti memecahkan
roti, yang lebih dalam maknanya daripada sekadar menyobek roti. Minum cawan
kehidupan meliputi memegang, mengangkat dan minum.
Sebelum kita minum cawan, kita harus
memegangnya! Ketika kita minum anggur atau minuman yang lainnya, kita mesti
sadar bahwa ini lebih dari sekadar meminumnya. Kita harus tahu apa yang kita
minum dan harus bisa mengatakannya. Sama halnya dengan menjalani kehidupan,
tidaklah cukup bila hanya menjalaninya. Kehidupan yang tidak direfleksikan
adalah kehidupan yang kurang bernilai. Itu termasuk hakekat manusia di mana
kita mengkontemplasikan hidup kita, berpikir tentangnya, mendiskusikannya,
menilainya dan membentuk opini tentang kehidupan tersebut. Kegembiraan yang
paling besar tidak hanya timbul dari apa yang kita jalani, tetapi terutama dari
bagaiman kita berpikir dan merasakan kehidupan yang sedang kita jalani. Miskin
dan kaya, sukses dan gagal, cantik dan jelak, bukanlah semata-mata fakta
kehidupan. Semuanya adalah realitas yang dihayati masing-masing individu yang
dengan caranya yang sangat berbeda tergantung dari penempatannya dalam kerangka
yang lebih luas. Seorang miskin yang membandingkan kemiskinannya dengan
kekayaan tetangganya dan memikirkan perbedaan tersebut, akan menjalani
kehidupannya yang miskin dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan dengan
mereka yang miskin dan mampu bersyukur dengan hidupnya tanpa membandingkan
dirinya dengan mereka yang kaya.
Memegang cawan kehidupan berarti
melihat secara kritis apa yang kita jalani. Butuh keberanian ang besar untuk
melakukannya, karena pada waktu kita mulai memperhatikan, kita bias menjadi
ngeri akan apa yang kita lihat. Pertayaan-pertanyaan bermunculan dan kita tidak
tahu bagaimana menjawabnya. Keraguan akan muncul tentang hal-hal yang kita
pikir telah kita ketahui secara pasti. Tanpa memperhatikan kehidpan secara
kritis, kita akan kehilangan pandangan dan arah kita. Jika kita minum cawan itu
tanpa memegangnya terlebih dahulu, maka dengan mudah kita menjadi mabuk dan
berangan-angan tanpa tujuan.
Memegang cawan kehiduapn memerlukan
disiplin yang keras. Kita manusia dahaga yang ingin segera minum, namun kita
harus bias menahan diri. Peganglah cawan kita dengan tangan, kemudian tanyalah
pada diri kita sendiri, "Apa yang diberikan kepada saya untuk diminum? Apa
yang ada di dalam cawan saya? Amankah untuk diminum? Apakah akan membuat saya
sehat? Tidak ada 2 kehidupan yang sama. Kita sering membandingkan kehidupan
kita dengan kehidupan orang lain, mencoba menilai apakah kita lebih baik atau
lebih jelek, meskipun perbandingan itu tidak banyak membantu. Kita harus
memegang cawan kehidupan kita sendiri. Kita mestinya berani berkata,
"Inilah hidup saya, hidup yang diberikan kepada saya. Inilah kehidupan
yang harus saya jalani, sebaik mungkin, sejauh yang bisa saya lakukan. Hidup
saya unik. Saya mempunyai sejarah sendiri, keluarga sendiri, tubuh sendiri,
sifat sendiri, teman-teman sendiri - ya, saya memiliki kehidupan saya sendiri
yang harus saya tempuh. Tak seorangpun memiliki tantangan yang sama. Banyak
orang menolong agar saya sanggup menapaki kehidupan saya, tetapi setelah semua
dikatakan atau dilakukan, saya harus tetap menentukan pilihan-pilihan sendiri
bagaimana saya harus hidup.
Menjadi Anggur Yang Baik
"Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang
telah menjadi anggur itu--dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi
pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya"
Ketika
hari Natal tiba, banyak orang mulai membuat kue serta berbagai jenis makanan
sebagai tanda kebahagiaan dan merayakan kelahiran Yesus. Selain makanan dan
kue-kue, tak lupa juga dihidangkan berbagai jenis minuman sebagai teman setia.
Salah satu minuman yang selalu tersedia adalah air mineral. Saya selalu
tersenyum melihat harga yang berbeda-beda di tiap kemasan air mineral. Merknya
pun berbeda-beda; Arthes, AQ8, Vir, Wigo, Aqua, dll. Berukuran sama, merek
berbeda, harga berbeda. Jika dibandingkan lagi dengan satu liter air biasa,
tentu harganya jauh lebih murah dibanding harga air mineral. Air-air yang ada
dalam kemasan botol itu sudah melalui proses pemurnian sehingga dipercaya akan
lebih sehat ketika dikonsumsi ketimbang air biasa yang dimasak sekalipun.
Kemasan lainnya ada yang ditambahi oksigen sehingga dikatakan lebih menyegarkan
dibanding air mineral biasa. Maka harganya pun bertambah. Ini baru sama-sama
air putih, harga sudah beragam. Bagaimana jika air hadir dalam bentuk lain,
katakan kopi, teh, sirup dll? Harganya akan berbeda lagi. Bagaimana jika
anggur? Tentu harganya akan jauh di atas air putih biasa. Ada perbedaan yang
sangat jauh dari harga air dan anggur, meski keduanya sama-sama minuman.
Hari
ini kita merenungkan kisah Perkawinan di Kana yang terdapat dalam Yohanes
2:1-11. Dikisahkan pada waktu itu Yesus dan murid-muridNya hadir di pesta
perkawinan di Kana, begitu pula ibu Yesus. Mungkin tamu yang hadir membludak
jauh dari yang diperkirakan, sehingga mereka kehabisan anggur. "Di situ
ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi,
masing-masing isinya dua tiga buyung." (Yohanes 2:6). Dua-tiga buyung
berarti sekitar 20-30 galon, kira-kira 100 liter bisa ditampung dalam
masing-masing tempayan. "Yesus berkata kepada pelayan-pelayan itu:
"Isilah tempayan-tempayan itu penuh dengan air." Dan merekapun
mengisinya sampai penuh." (ay 7). Setelah itu, Yesus meminta mereka untuk
menyendok air itu dan membawanya kepada pemimpin pesta. (ay 8). Dan inilah yang
terjadi. "Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi
anggur itu dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang
mencedok air itu, mengetahuinya". (ay 9). Si pemimpin pesta pun
terheran-heran. Segera ia memanggil mempelai pria, dan berkata: "Setiap
orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum,
barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai
sekarang."(ay 10). Ini ringkasan dari mukjizat awal sebagai permulaan dari
pelayanan Kristus secara langsung di dunia.
Mari
kita lihat bagaimana air biasa diubahkan Yesus untuk menjadi anggur. Bukan
sekedar anggur, tapi dikatakan anggur yang baik. Anggur yang baik ini kemudian
dinikmati dan menjadi berkat bagi banyak orang yang hadir disana. Akan sangat
jauh tentunya jika yang dihidangkan hanya air putih biasa. Dari kisah terkenal
ini kita bisa mengambil pelajaran penting. Seperti apakah kita saat ini? Apakah
air biasa, air yang sedang dalam proses pemurnian, atau menjadi anggur? Seperti
halnya Yesus sanggup mengubah air menjadi anggur, Dia sanggup mengubah kita
yang "biasa-biasa" saja untuk menjadi anggur yang baik yang bisa
memberkati, membawa sukacita bagi banyak orang. Bagaimana caranya? Dari kisah
di atas kita bisa melihat bahwa awalnya tempayan-tempayan itu disuruh Yesus
sendiri untuk diisi dengan air. Ini berbicara mengenai pentingnya kita mengisi
diri kita secara teratur dengan sabda Tuhan yang hidup. Sabda Tuhan sungguh
penting dalam hidup kita, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih
tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai
memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan
pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Dan jangan lupa
sebelum air diperintahkan Yesus untuk masuk ke tempayan, ada sebuah pesan
penting yang disampaikan ibu Yesus. "Tetapi ibu Yesus berkata kepada
pelayan-pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (ay 5).
Ya, ketaatan pada Yesus menjadi kunci utama pula. Jadi secara singkat kita bisa
melihat bahwa jika kita manusia berada di tangan Yesus, taat kepada-Nya dan
kemudian mengisi diri kita dengan air yang adalah firman Tuhan, maka kita bisa
diubahkan untuk menjadi anggur, menjadi berkat bagi orang lain.
Proses
pengubahan ini seringkali tidak menyenangkan. Ada kalanya kita harus mengalami
berbagai hal berat dan menyakitkan ketika sedang dibentuk. Namun lewat itulah
kita bisa diubahkan Tuhan menjadi anggur berkualitas yang bisa memberkati
banyak orang. Hidup kita yang biasa-biasa saja bisa dipakai Tuhan agar bermakna
bagi orang lain. Untuk itu kita harus rela ditegur, dikoreksi, diajar atau
malah dihajar jika perlu. Siapapun kita, apapun latar belakang kita, Tuhan bisa
memakai itu semua untuk menjadi berkat. Yang dibutuhkan adalah kerelaan kita untuk
diubahkan dan dipakai agar menjadi berkat. Ketaatan kita secara penuh,
melakukan apa yang Dia perintahkan, lalu mengisi diri kita dengan sabda Tuhan,
itulah dasar yang akan mengarahkan kita menjadi anggur berkualitas. Dimanakah
posisi kita saat ini? Mari kita sama-sama terus bertumbuh hingga bisa menjadi
anggur baik yang memberkati orang banyak.
Jadilah anggur
yang baik yang membawa sukacita dan berkat bagi sesama
Tahu Apa Yang Harus Diminta
Fr. Diakon Yohanes Sigit SCJ
Seandainya
anda diberi kesempatan untuk menyampaikan suatu permintaan yang pasti
dikabulkan, apa yang akan anda minta? Kita bisa bingung sendiri untuk
menentukan satu permintaan. Mungkin kita berharap bahwa permintaan tersebut
kalau bias jangan hanya satu, tapi tiga. Namun ketika diberi tiga kita pun akan
kembali bingung karena ingin lebih. Seandainya diberi 10, apakah menjadi lebih
mudah? Tidak juga. Kita selalu mempunyai daftar permintaan yang panjang, atau wish list yang panjang yang seringkali
kita bawa juga ke dalam doa kita setiap hari. Melihat teman memakai BlackBerry, kita pun ingin memilikinya.
Melihat tetangga punya mobil baru, kita pun ingin sama. Seperti itulah kita dan
kebutuhan kita dalam hidup yang tidak akan pernah ada habisnya.
Tidak salah memang meminta kepada
Tuhan, tapi kita terlalu fokus kepada kebutuhan duniawi yang instan ketimbang
kebutuhan yang lebih penting. Kita akan lebih suka menerima kekayaan, mobil, hp
baru, rumah dan sebagainya ketimbang minta diberkati dalam pekerjaan supaya
berhasil. Kita lebih mudah meminta kesembuhan setelah sakit ketimbang komitmen
untuk secara rutin berolahraga dan menjaga kesehatan sejak dini. Kita berdoa
minta kelulusan tetapi lupa meminta hikmat Tuhan turun atas kita ketika sedang
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Kita boleh selalu dating kepada
Tuhan untuk meminta sesuatu, tapi alangkah lebih baik jika kita mengetahui
terlebih dahulu apa yang harus kita minta. Tuhan tahu apa yang kita butuhkan .
ada kalanya Dia tidak mengabulkan permintaan itu, dan itu bukan karena Tuhan
pilih kasih, berat sebelah atau menutup telinga-Nya dari kita. Bukan karena Dia
tidak peduli, tetapi karena Dia perhatian dengan kita umat-Nya. Terkadang kita
tidak tahu bahwa yang kita minta bisa membawa kita kepada kejatuhan. Kita hanya
melihat kulit luarnya yang nikmat, sedangkan isinya yang berpotensi menjauhkan
kita dari Tuhan tidak kita lihat. Tidak heran ketika kita hanya diberi satu
kesempatan untuk meminta sesuatu, kita pun akan bingung menentukan pilihan.
Bacaan Injil hari ini, Markus
10:46-52 menceritakan Yesus yang menyembuhkan Bartimeus. Yesus memberi
kesempatan kepada Bartimeus untuk meminta. Tanya
Yesus kepadanya, "Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?"
Jawab orang buta itu: "Rabuni, supaya aku dapat melihat!" (ay 51).
Jika kita ada di pihak Bartimeus, apa yang akan kita katakan? Mungkin saja kita
akan meminta berbagai hal kepada Yesus, mumpung kesempatan ada. Bartimeus sudah
lama meminta-minta, itu artinya ia miskin, di samping matanya buta. Mungkin
jika kita menjadi Bartimeus, kita sekaligus akan minta pekerjaan, atau harta,
rumah dan sebagainya di samping mata yang bias melihat. Begitu ia bias melihat,
ia bias berusaha. Yang menjadi kendala selama ini adalah kebutaan matanya. Ia
tidak perlu meminta apa-apa lagi. Karena ia tahu bahwa dengan sepasang mata
yang mampu melihat, ia akan mempu berbuat sesuatu untuk bisa hidup layak. Lalu kata Yesus kepadanya: "Pergilah,
imanmu telah menyelamatkan engkau!" (ay 52a). dan seketika itu juga
Bartimeus pun bisa melihat dan segera mengikuti Yesus.
Kita bisa belajar dari Bartimeus
yang tahu apa yang harus ia minta. Tuhan
berfirman: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu
akan mendapat: ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagmu. Karena setiap orang
yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari mendapat dan setiap orang
yang mengetok, baginya pintu dibukakan" (Mat 7:7-8). Ya, minta, cari
dan ketuk. Tetapi mari kita lihat ayat selanjutnya. "Adakah seoarng dari
padamu yang member batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau member ular,
jika ia meminta ikan?" (ay 9-10). Meminta roti, maka akan mendapat roti
dan bukan batu. Meminta ikan, maka akan mendapat ikan dan bukan ular. Dari
rangkaian ayat-ayat dalam Matius 7 ini kita bias melihat bahwa agar mendapat
jawaban atas doa kita, kita harus meminta dengan kesungguhan hati dan tahu
dengan jelas apa yang kita butuhkan. Selain itu, jangan lupa pula bahwa kita
harus meminta dengan kepercayaan, karena "apa
saja yang kamu minta dalam doa dan penuh
kepercayaan, kamu akan menerimanya" (Mat 21:22). Ini syarat
penting agar pemintaan kita dikabulkan. Dan Bartimeus melakukan semua itu.
Tidak heran jika Yesus bukan hanya menyembuhkan matanya tapi justru berkata: "Pergilah, imanmu telah menyelamatkan
engkau!" Adalah iman Bartimeus, yang percaya dan tahu apa yang ia
butuhkanlah yang telah menyelamatkannya.
Hari ini Yesus sama siapnya untuk
menjawab permintaan kita seperti Dia dahulu kepada Bartimeus. Pertanyaannya
sekarang, apakah kita sudah tahu apa yang sesungguhnya perlu kita minta seperti
halnya bartimeus atau kita masih terlalu bingung untuk memiliki segala hal yang
mungkin terlalu kita butuhkan atau malah berpotensi untuk membuat kita lupa
diri hingga bias membinasakan kita? Seperti halnya Bartimeus, kita pun butuh
Yesus untuk membuka mata kita agar mengetahui apa yang sesungguhnya kita
butuhkan. Jika kita tahu apa yang seharusnya kita minta, maka doa kita pun akan
seolah mendapat kekuatan baru yang akan langsung mengarah pada inti persoalan.
Oleh karena itu kita harus belajar untuk meyingkirkan hal-hal yang tidak
terlalu perlu dalam daftar permintaan kita dan menggantinya dengan sesuatu yang
sungguh kita butuhkan. Bagi Bartimeus, matanyalah yang menjadi kendala utama untuk
bias berusaha hidup layak. Apa yang menjadi kendala utama anda hari ini?
Sudahkah anda mengetahuinya?
Langganan:
Postingan (Atom)