Fr. Diakon Yohanes Sigit SCJ
Ketika
Yesus bertanya kepada teman-teman-Nya, Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus,
"Dapatkah kamu minum cawan yang akan Kuminum?" Ia mengajukan
pertanyaan yang langsung menusuk ke inti keimanan dan kehidupan kita sebagai
murid-murid-Nya (Mrk 10: 35-45). Pada saat kita mengucapkan janji babtis, kita
mengungkapkan niat untuk setia kepada-Nya dengan sekuat tenaga dan pertanyaan
ini nampaknya tidak begitu sukar untuk dijawab. Dengan penuh keyakinan dan semangat
yang berkobar-kobar kita berani menjawab "ya" dengan rasa mantap.
Hari ini, pertanyaan yang sama
muncul kembali. Pertanyaan "Dapatkah saya, dapatkah kita, minum cawan yang
diminum Yesus?" menjadi tantangan spiritual bagi kita. Pertanyaan yang
dikemukakan oleh Yesus dalam Ekaristi hari ini dihadirkan kembali. Pertanyaan
ini mempunyai kekuatan membongkar hati yang mengeras dan membuka tabir peyangga
kehidupan rohani. "dapatkah kita memegang cawan kehidupan ini di dalam
tangan kita? Dapatkah kita mengangkatnya sehingga orang lain bias melihatnya,
dan dapatkah kita meminumnya sampai habis? Minum dari cawan itu lebih dari pada
sekadar meneguk apapun yang ada di dalamnya, sama halnya seperti memecahkan
roti, yang lebih dalam maknanya daripada sekadar menyobek roti. Minum cawan
kehidupan meliputi memegang, mengangkat dan minum.
Sebelum kita minum cawan, kita harus
memegangnya! Ketika kita minum anggur atau minuman yang lainnya, kita mesti
sadar bahwa ini lebih dari sekadar meminumnya. Kita harus tahu apa yang kita
minum dan harus bisa mengatakannya. Sama halnya dengan menjalani kehidupan,
tidaklah cukup bila hanya menjalaninya. Kehidupan yang tidak direfleksikan
adalah kehidupan yang kurang bernilai. Itu termasuk hakekat manusia di mana
kita mengkontemplasikan hidup kita, berpikir tentangnya, mendiskusikannya,
menilainya dan membentuk opini tentang kehidupan tersebut. Kegembiraan yang
paling besar tidak hanya timbul dari apa yang kita jalani, tetapi terutama dari
bagaiman kita berpikir dan merasakan kehidupan yang sedang kita jalani. Miskin
dan kaya, sukses dan gagal, cantik dan jelak, bukanlah semata-mata fakta
kehidupan. Semuanya adalah realitas yang dihayati masing-masing individu yang
dengan caranya yang sangat berbeda tergantung dari penempatannya dalam kerangka
yang lebih luas. Seorang miskin yang membandingkan kemiskinannya dengan
kekayaan tetangganya dan memikirkan perbedaan tersebut, akan menjalani
kehidupannya yang miskin dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan dengan
mereka yang miskin dan mampu bersyukur dengan hidupnya tanpa membandingkan
dirinya dengan mereka yang kaya.
Memegang cawan kehidupan berarti
melihat secara kritis apa yang kita jalani. Butuh keberanian ang besar untuk
melakukannya, karena pada waktu kita mulai memperhatikan, kita bias menjadi
ngeri akan apa yang kita lihat. Pertayaan-pertanyaan bermunculan dan kita tidak
tahu bagaimana menjawabnya. Keraguan akan muncul tentang hal-hal yang kita
pikir telah kita ketahui secara pasti. Tanpa memperhatikan kehidpan secara
kritis, kita akan kehilangan pandangan dan arah kita. Jika kita minum cawan itu
tanpa memegangnya terlebih dahulu, maka dengan mudah kita menjadi mabuk dan
berangan-angan tanpa tujuan.
Memegang cawan kehiduapn memerlukan
disiplin yang keras. Kita manusia dahaga yang ingin segera minum, namun kita
harus bias menahan diri. Peganglah cawan kita dengan tangan, kemudian tanyalah
pada diri kita sendiri, "Apa yang diberikan kepada saya untuk diminum? Apa
yang ada di dalam cawan saya? Amankah untuk diminum? Apakah akan membuat saya
sehat? Tidak ada 2 kehidupan yang sama. Kita sering membandingkan kehidupan
kita dengan kehidupan orang lain, mencoba menilai apakah kita lebih baik atau
lebih jelek, meskipun perbandingan itu tidak banyak membantu. Kita harus
memegang cawan kehidupan kita sendiri. Kita mestinya berani berkata,
"Inilah hidup saya, hidup yang diberikan kepada saya. Inilah kehidupan
yang harus saya jalani, sebaik mungkin, sejauh yang bisa saya lakukan. Hidup
saya unik. Saya mempunyai sejarah sendiri, keluarga sendiri, tubuh sendiri,
sifat sendiri, teman-teman sendiri - ya, saya memiliki kehidupan saya sendiri
yang harus saya tempuh. Tak seorangpun memiliki tantangan yang sama. Banyak
orang menolong agar saya sanggup menapaki kehidupan saya, tetapi setelah semua
dikatakan atau dilakukan, saya harus tetap menentukan pilihan-pilihan sendiri
bagaimana saya harus hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar