Cari Blog Ini

Senin, 04 Maret 2013

Dapatkah Engkau Minum dari Cawan Itu? (Part I)


Fr. Diakon Yohanes Sigit SCJ

Ketika Yesus bertanya kepada teman-teman-Nya, Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, "Dapatkah kamu minum cawan yang akan Kuminum?" Ia mengajukan pertanyaan yang langsung menusuk ke inti keimanan dan kehidupan kita sebagai murid-murid-Nya (Mrk 10: 35-45). Pada saat kita mengucapkan janji babtis, kita mengungkapkan niat untuk setia kepada-Nya dengan sekuat tenaga dan pertanyaan ini nampaknya tidak begitu sukar untuk dijawab. Dengan penuh keyakinan dan semangat yang berkobar-kobar kita berani menjawab "ya" dengan rasa mantap.

            Hari ini, pertanyaan yang sama muncul kembali. Pertanyaan "Dapatkah saya, dapatkah kita, minum cawan yang diminum Yesus?" menjadi tantangan spiritual bagi kita. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Yesus dalam Ekaristi hari ini dihadirkan kembali. Pertanyaan ini mempunyai kekuatan membongkar hati yang mengeras dan membuka tabir peyangga kehidupan rohani. "dapatkah kita memegang cawan kehidupan ini di dalam tangan kita? Dapatkah kita mengangkatnya sehingga orang lain bias melihatnya, dan dapatkah kita meminumnya sampai habis? Minum dari cawan itu lebih dari pada sekadar meneguk apapun yang ada di dalamnya, sama halnya seperti memecahkan roti, yang lebih dalam maknanya daripada sekadar menyobek roti. Minum cawan kehidupan meliputi memegang, mengangkat dan minum.

            Sebelum kita minum cawan, kita harus memegangnya! Ketika kita minum anggur atau minuman yang lainnya, kita mesti sadar bahwa ini lebih dari sekadar meminumnya. Kita harus tahu apa yang kita minum dan harus bisa mengatakannya. Sama halnya dengan menjalani kehidupan, tidaklah cukup bila hanya menjalaninya. Kehidupan yang tidak direfleksikan adalah kehidupan yang kurang bernilai. Itu termasuk hakekat manusia di mana kita mengkontemplasikan hidup kita, berpikir tentangnya, mendiskusikannya, menilainya dan membentuk opini tentang kehidupan tersebut. Kegembiraan yang paling besar tidak hanya timbul dari apa yang kita jalani, tetapi terutama dari bagaiman kita berpikir dan merasakan kehidupan yang sedang kita jalani. Miskin dan kaya, sukses dan gagal, cantik dan jelak, bukanlah semata-mata fakta kehidupan. Semuanya adalah realitas yang dihayati masing-masing individu yang dengan caranya yang sangat berbeda tergantung dari penempatannya dalam kerangka yang lebih luas. Seorang miskin yang membandingkan kemiskinannya dengan kekayaan tetangganya dan memikirkan perbedaan tersebut, akan menjalani kehidupannya yang miskin dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan dengan mereka yang miskin dan mampu bersyukur dengan hidupnya tanpa membandingkan dirinya dengan mereka yang kaya.

            Memegang cawan kehidupan berarti melihat secara kritis apa yang kita jalani. Butuh keberanian ang besar untuk melakukannya, karena pada waktu kita mulai memperhatikan, kita bias menjadi ngeri akan apa yang kita lihat. Pertayaan-pertanyaan bermunculan dan kita tidak tahu bagaimana menjawabnya. Keraguan akan muncul tentang hal-hal yang kita pikir telah kita ketahui secara pasti. Tanpa memperhatikan kehidpan secara kritis, kita akan kehilangan pandangan dan arah kita. Jika kita minum cawan itu tanpa memegangnya terlebih dahulu, maka dengan mudah kita menjadi mabuk dan berangan-angan tanpa tujuan.

            Memegang cawan kehiduapn memerlukan disiplin yang keras. Kita manusia dahaga yang ingin segera minum, namun kita harus bias menahan diri. Peganglah cawan kita dengan tangan, kemudian tanyalah pada diri kita sendiri, "Apa yang diberikan kepada saya untuk diminum? Apa yang ada di dalam cawan saya? Amankah untuk diminum? Apakah akan membuat saya sehat? Tidak ada 2 kehidupan yang sama. Kita sering membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain, mencoba menilai apakah kita lebih baik atau lebih jelek, meskipun perbandingan itu tidak banyak membantu. Kita harus memegang cawan kehidupan kita sendiri. Kita mestinya berani berkata, "Inilah hidup saya, hidup yang diberikan kepada saya. Inilah kehidupan yang harus saya jalani, sebaik mungkin, sejauh yang bisa saya lakukan. Hidup saya unik. Saya mempunyai sejarah sendiri, keluarga sendiri, tubuh sendiri, sifat sendiri, teman-teman sendiri - ya, saya memiliki kehidupan saya sendiri yang harus saya tempuh. Tak seorangpun memiliki tantangan yang sama. Banyak orang menolong agar saya sanggup menapaki kehidupan saya, tetapi setelah semua dikatakan atau dilakukan, saya harus tetap menentukan pilihan-pilihan sendiri bagaimana saya harus hidup.

            Secara bulat kita seharusnya berani menyatakan siapa kita dan mengapa kita dipanggil untuk hidup. Baru sesudah itulah kita juga bisa mencapai bintang-bintang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar