Sesudah beberapa hari di sana, dia kembali ke sarangnya. Dia mendapati seekor kelinci telah menempati sarangnya. "Keluar!" perintah ayam hutan kepada kelinci, "Ini rumahku". "Sekarang ini rumahku", bantah kelinci, "Aku sudah tinggal di sini beberapa hari". "Tidak ada alasan apapun", sanggah sang ayam, "Akulah penghuni tetap di sini dan rumah ini milikku". Kelinci pun balik membantah, "Tetapi aku berhak atas rumah ini karena aku menempati rumah kosong". Walaupun telah dibantu oleh bintatang-binatang tetangga, masalah itu tidak juga selesai. Oleh karena itu, masalah itu pun dibawa kepada si kucing jantang, sang hakim.
Kucing jantan bukan termasuk keluarga kucing biasa. Dia berdiri di atas kaki belakangnya dan kaki depannya memegang tasbih. Setiap saat dia mengucapkan nama Tuhan. Seekor binatang yang saleh dan takut akan Allah akan bersikap adil dan tidak memihak, pikir ayam hutan dan kelinci.
"Tuan, kami datang ke sini untuk mnyelesaikan percekcokan kami. Keputusanmu adalah yang terakhir dan akan kami terima", kata ayam hutan dan kelinci. "Katakan kepada saya perkara kalian", jaab kucing jantan. Kemudian ia mempersilakan ayam hutan yang pertama-tama bicara. Ayam hutan menyampaikan perkaranya dengan bersemangat. "Sekarang engkau, katakan perkaramu", kata kucing kepada kelinci.
Sesudah mendenganr kedua belah pihak berbicara, kucing ingin mengajukan beberapa pertanyaan. "Mari lebih dekat ke sini karena saya agak tuli". Lalu keduanya mendekat. Tiba-tiba hakim kucing melepaskan tasbihnya. Segera dia menerkam kedua binatang itu. Dia menyelesaikan percekcokan mereka selamanya dengan memakan keduanya.
Percekcokan adalah akar kecelakaan
- Menghayati Ekaristi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar