Wanita berkerudung itu terlihat begitu menawan. Cantik sekali dan sangat menarik hati. Ya, aku telah jatuh cinta kepada penampilan wanita itu. Kecantikannya mesti selaras dengan hatinya. Aku ingin seperti wanita itu.
Begitulah impian seorang Martina Susanti kala itu. Gadis belia dari pelosok Lampung itu sungguh jatuh hati kepada wanita berkerudung. Impian itu jugalah yang kelak mengubah keinginan hatinya dan jalan hidupnya. Jalan hidup yang serba duniawi berubah ke jalan yang beraroma nurani.
Martina Susanti lahir 19 Mei 1973 di desa Muntilan, Kalirejo, Lampung. Masa kecil dihabiskannya bersama orangtua dan ketiga saudaranya. Dan setelah menyelesaikan pendidikan dasar, SD dan SMP, ia melanjutkan ke SMA Xaverius Tanjung Karang. Di kota itulah ia kemudian bekerja di Keuskupan Tanjung Karang. Bekerja dan bekerja, ia selalu merasa tak pernah merasa kecukupan. Keinginan untuk memiliki benda-benda kebutuhannya selalu muncul tak berkesudahan. Ada saja yang dirasa kurang. Sehingga berapa pun penghasilannya, tak pernah ia merasa cukup.
Suatu saat, tepatnya tahun 1996, keuskupan tempat dia bekerja kedatangan tamu. Peristiwa itu menggugah kembali rasa jatuh hatinya terhadap penampilan wanita-wanita berkerudung. Kecantikannya, keramahannya, dan lemah lembutnya mesti selaras dengan hatinya. Begitu pikirnya. Dan betapa berbinar hatinya ketika tamu itu menyapanya dengan ramah. Mereka adalah Suster Germaine, SJD dan Suster Yasinta, SJD.
Pertemuan dengan suster-suster SJD itu meninggalkan kesan mendalam bagi Martina Susanti. Pikirannya selalu terbayang, mungkinkah aku bisa menjadi seperti mereka? Keinginannya untuk bisa menjadi wanita berkerudung seperti itu semakin menggebu. Namun demikian, pergulatan batin pun terjadi.
Akhirnya keputusan ia ambil. Tahun 1997 ia menjawab pergolakan batinnya dengan menjadi aspiran di Curup. Di sanalah, pergolakan batin itu semakin memperoleh jawaban yang semakin pasti. Bimbingan dari para suster seniornya, didukung dengan sikap dan tanggapan keluarga yang postif, semakin memantabkan langkahnya menuju kepada penyerahan diri secara total.
Tiga tahun dijalaninya penggemblengan batin di Curup. Dan ketika langkahnya sudah semakin mantab, ia pindah ke Jambi. Karyanya selama 10 tahun di Jambi telah mematangkan tekadnya untuk berserah diri secara total. Dan 5 Januari 2011 adalah hari yang ia nantikan. Hari itulah, ia mengungkapkan ikrar kaul kekalnya di hadapan Bapak Uskup Agung Palembang, Mgr Aloysius Sudarso, SCJ, dan umat Paroki Santa Teresia Jambi.Dalam pergulatan hidup yang dialami sepanjang 1997-2010, Sr Martina Susanti, SJD semakin memperoleh kelengkapan jawaban atas pengembaraannya. Keputusan untuk meninggalkan orangtua dan ketiga saudaranya, baginya ternyata justru memberinya orangtua dan saudara, pun juga mertua yang jauh lebih banyak. Coba kalau saya menikah, mertua saya hanya satu, dan saudara saya tidak sebanyak ini, begitu katanta. Karena yang ia rasakan, sejak menjadi suster, siapa pun yang ia jumpa dirasanya benar-benar menerimanya sehingga terasa sebagai saudara sendiri. Dan kalau dahulu ia merasa selalu terbelenggu oleh rasa kekurangan, kini ia merasa bebas. Sekarang ia merasa selalu kecukupan. Sesuai dengan kaul ketaatan dan kemiskinannya, apa pun keadaannya, ia tak lagi merasa kekurangan. Itu pulalah yang ia nyatakan dalam motonya: Cukuplah Kasih Karunia-Ku bagimu, Sebab justru dalam kelemahan, kuasa-Ku menjadi sempurna
Menjadi suster bukan berarti meninggalkan semua kebisaaan dan kesukaannya. Suster yang hobi olahraga itu masih sekali-sekali main bulu tangkis bila ada lawan. Dan untuk menjaga kesehatannya, setiap hari ia melakukan yoga.
Bercerita tentang suka duka selama hidup membiara, putri bungsu dari Bapak Tomas Ketiwijoyo itu kembali mengungkapkan bahwa dengan meninggalkan keluarga justru ia menemukan saudara-saudaranya yang jauh lebih banyak. Dan sekarang ia merasa bebas dari rasa kekurangan. Cukuplah karunua Tuhan baginya. Mengenai dukanya, ia tidak begitu merasakan. Konflik dan perbedaan pendapat dalam komunitas itu bisaa. Namun dalam kerendahan hati, semua bisa teratasi.
Kaul kekal baginya merupakan penyerahan diri seutuhnya. Penyerahan diri seumur hidup secara total kepada karya Kristus. Dan setelah ikrar kaul kekal ini ia berharap mampu menghayati hidup dengan semakin erat kepada Allah.
Mengapa kaul kekal dilaksanakan di Paroki St. Teresia Jambi? Karena di Jambi belum pernah ada. Peristiwa ini juga merupakan bentuk promosi panggilan, yang memang sulit mendapatkan calon di Jambi. Selain itu, pelaksanaan kaul di Jambi juga memberikan keuntungan baginya, karena dengan demikian masa studinya tidak terganggu. Ia adalah satu-satunya suster yang menjadi mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar